Pages

11.18.2010

Tujuh Belas Tahun

Ini cerita tentang ibu saya.

“Kalau mau berjuang, ya berjuang aja. Nggak usah mikir yang macem-macem.”

Saya pernah mengucapkan kalimat itu, yang pernah saya tulis di sini dan di halaman lain. Sungguh, saya menyesalinya. Kadang-kadang kalimat yang saya ucapkan kepada ibu saya itu masih terngiang di kepala. Waktu itu saya belum merasakan bagaimana sulitnya terdesak kebutuhan hidup.

Dua tahun lalu, waktu mengajar ibu saya sudah tujuh belas tahun. Itu bukan waktu yang pendek untuk sebuah pengabdian. Dalam waktu tujuh belas tahun itulah ibu saya berusaha tetap bertahan atas apa yang dirintisnya. Tahun ini berarti sudah dua puluh tahun mengajar.

Soal kesejahteraan, jangan tanya. Tidak akan masuk dalam hitungan secara ekonomis. Lagian ibu saya bukan pegawa pemerintah. Yah, memang ada insentif dari pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Entah mulai tahun berapa, saya tidak tahu pasti. Tahun-tahun pertama insentif itu diberikan tiga bulan sekali. Kalau tidak salah, dan semoga tidak salah, jumlahnya 300 ribu. Uang itu kadang tidak tentu turunnya, meski mestinya diberikan tiga bulan sekali. Kemudian setengah tahun sekali. Dan dua tahun ini diberikan setahun sekali.

Waktu itu sudah tujuh belas tahun ia mengajar. Dua tahun lalu. Dalam waktu yang begitu lama tentu telah banyak pengalaman yang didapatkannya. Saya salah mengerti tentang kemampuan ibu saya. Saya, sejauh ini, masih sering lupa, bahwa pengalaman kadang lebih penting dari selembar ijasah.

Saya baru menyadari kekeliruan pandangan tentang ibu saya ketika pada suatu kali kamu berbincang. Awalnya ia hanya menceritakan dirinya sendiri. Tentang rencana pengangkatan guru honorer yang sulit baginya yang hanya lulusan SMP. Kemudian sakitnya yang berbulan-bulan. Ia cerita tentang muridnya yang tambah nakal selama ia tidak masuk mengajar. Menurutnya ada yang salah dalam mendidik anak-anak “nakal” itu. “Kalau anak nakal itu jangan dimarahi,” katanya. “Dituruti apa kemauannya, jangan dipaksa, tapi diarahkan dengan cara yang halus.”

Kalimat ini yang membuat saya kaget. Saya kemudian menyimpulkan ia paham bagaimana mendidik anak dengan karakter yang berbeda-beda tentunya. Tentu saja ini tidak akan diajarkan ketika ia sekolah dulu. Ini adalah pengetahuan dari pengalaman. Saya sendiri tidak mengetahui kemampuan ibu saya mengajar karena saya tidak sekolah di TK tempat ibu saya mengajar. Lagi pula saya juga belum pernah tahu bagaimana ibu saya mengajar. Setahu saya mengajar TK itu hanya mengajari menyanyi. Lah, ternyata tidak sekadar itu.

Beberapa bulan ini, mulai bulan Juli kalau tidak salah ingat ibu saya mulai kembali mengajar. Tentu saya senang mendengarnya. Bukan hanya senang sebab berarti ibu saya sudah sembuh dari sakitnya—meski kadang masih kambuh. Namun, juga mengingat ia sudah berjalan begitu jauh dalam waktu hampir dua puluh tahun. Saya juga tahu, kami mesti menahan diri untuk ngotot seandainya ibu saya naik statusnya dari guru honorer (ini istilah pemerintah, bukan istilah ibu saya) untuk jadi PNS misalnya. Itu harapan yang kelewat tinggi dengan pemerintah yang masih lebih percaya pada ijasah. Meski ibu saya, dengan segala keterbatasan ekonominya, akan dengan senang hati menerima itu. Tapi, sekali lagi mungkin itu terlalu jauh menurut saya.

Saya sendiri tentu saja berharap ibu saya tidak berhenti. Mungkin hingga ia tak kuat lagi berjalan jauh, naik-turun bukit, dan menyeberangi sungai untuk berangkat dan pulang mengajar. Dan itu sudah saya anggap cukup sebagai bentuk pengabdian. Saya rasa itu juga sudah cukup untuk menyebut ia sebagai sebagai pahlawan. Paling tidak bagi saya.

3 comments:

  1. Anonymous18.11.10

    membicarakan ibu, tak kan pernah ada habisnya :D

    ReplyDelete
  2. betul, tak akan pernah. berbahagialah bagi kaum ibu.

    ReplyDelete
  3. guru, pahlawan tanpa tanda jasa. simbok: pahlawan bagi semua anak - pahlawan sejati, tak perlu pengakuan tetapi mendesak hati siapapun, dan tak bisa dilawan, untuk mengakuinya demikian.

    ReplyDelete

tinggalkan pesan di sini