Aku masih ingin bercerita tentang ibuku—tentunya dalam pandanganku—tentang impiannya bagi masa depan anak-anaknya, tentang kesedihannya, ketabahannya sebagai seorang pengabdi, dan apapun mengenai dirinya. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku sering mengingatnya. Barangkali aku sedang merindukannya. Atau mungkin aku sedang teringat akan ketabahan dan kesabarannya. Kesabaran yang sebenarnya ditahan karena jerat keadaan. Tidak adanya kaminan kesejahteraan baginya—sebagai seorang pendidik, keterbelakangan, dan banyak lagi hal lain.
Beberapa hari yang lalu aku dan ibu bercerita tentang cita-citanya bagi masa depan anaknya. Aku dan ibu duduk di sudut samping rumah, sambil memandangi pohon-pohon pisang yang lebat seperti hutan. Sementara di sekelilingnya, rumput-rumput tumbuh liar, juga tak terurus. Tentu saja bapakku tak sempat lagi mengurusnya. Sehari-hari telah ia habiskan di sawah. Sebenarnya sawah yang kami miliki tidak luas. Bapakku bukan tuan tanah. Sawah itu tinggal sisa-sisa. Sebagian yang lain telah dijual untuk biaya sekolah. Tapi bapakku tidak punya tenaga lain yang membantu.
Di desaku, tenaga muda tinggal sedikit. Bahkan, boleh dikatakan telah habis. Rata-rata mereka, pemuda desa itu, dengan bekal ijasah sekolah dasar hingga SMA atau kadang tanpa ijasah sama sekali, “melarikan diri” ke kota-kota besar. Jakrta, Bogor, mana saja. Memburuh di sana. Apa yang akan didapatkan dari tanah yang semakin lama semakin gersang? Sementara kebutuhan hidup semakin besar? Kebutuhan saat ini bukan hanya makan dan rumah tempat berteduh. Tapi juga pendidikan, televisi, motor, bedak, tape, radio, VCD player, dan lain-lain.
Aku lebih banyak diam dalam pembicaraan dengan ibu. Ibu menanyakan kehidupanku di Jogja. Hanya kujawab sedikit-sedikit. Ibuku yang lebih banyak bercerita. Awalnya ia menceritakan pengalamannya sebagai calon TKI yang gagal. Kemudian menceritakan seorang pemuda kenalannya di kantor penyalur TKI itu. Katanya pemuda itu juga mau bekerja ke luar negeri. Aku tak sempat bertanya lulusan apa pemuda itu. Tapi, kata ibuku, yang jelas pemuda itu bisa berbahasa inggris. “Mungkin yes dan no,” aku membatin.
Ibu ingin aku bekerja di luar negeri kalau aku selesai kuliah nanti. Kata ibu, bekerja di sana lebih mudah dan bayarannya lebih besar daripada bekerja di Indonesia.
“Apa-apa di sini harus modal. Mau usaha juga modal. Mau melamar kerja juga modal,” katanya.
Tentu saja modal dalam pengertian ibu adalah uang. Aku diam saja. Lebih banyak menyimak. Mencoba membayangkan jalan pikiran ibu.
“Aku ingin besok kamu menuruti kemauan saya. Aku bersedia mengeluarkan modal, yang penting nanti modalnya kembali.” Ia melanjutkan.
Aku tak pernah menyalahkan jalan pikirannya. Bagiku ibu adalah sosok yang pantas untuk dikagumi. Keadaan keluarga yang membua ibu berkata seperti itu. Ibu tidak igin anak-anaknya hidup dalam kekurangan.
Senja itu pembicaraan kami terpotong oleh suara adzan magrib. Paginya ibu bertanya tentang bagaimana kuliah itu.
“Sulit atau tidak?” Katanya.
Setelah kutanyakan mengapa ibu bertanya begitu, katanya ada berita dari pemerintah, yang telah dua puluh tahun menjadi guru akan diangkat menjadi pegawai negeri. Dan syaratnya minimal Diploma II. Jadi itu alasannya. Ibuku telah hampir dua puluh tahun mengajar. Tinggal tiga tahun lagi genap dua puluh tahun itu.
Ah, apa mungkin ibuku, yang hanya lulus setingkat SLTP itu, bisa mengikuti kuliah? Bayangkan, usianya hampir setengah abad. Namun, aku tidak mengatakan kalimat terakhir ini.
25.09.05
Di desaku, tenaga muda tinggal sedikit. Bahkan, boleh dikatakan telah habis. Rata-rata mereka, pemuda desa itu, dengan bekal ijasah sekolah dasar hingga SMA atau kadang tanpa ijasah sama sekali, “melarikan diri” ke kota-kota besar. Jakrta, Bogor, mana saja. Memburuh di sana. Apa yang akan didapatkan dari tanah yang semakin lama semakin gersang? Sementara kebutuhan hidup semakin besar? Kebutuhan saat ini bukan hanya makan dan rumah tempat berteduh. Tapi juga pendidikan, televisi, motor, bedak, tape, radio, VCD player, dan lain-lain.
Aku lebih banyak diam dalam pembicaraan dengan ibu. Ibu menanyakan kehidupanku di Jogja. Hanya kujawab sedikit-sedikit. Ibuku yang lebih banyak bercerita. Awalnya ia menceritakan pengalamannya sebagai calon TKI yang gagal. Kemudian menceritakan seorang pemuda kenalannya di kantor penyalur TKI itu. Katanya pemuda itu juga mau bekerja ke luar negeri. Aku tak sempat bertanya lulusan apa pemuda itu. Tapi, kata ibuku, yang jelas pemuda itu bisa berbahasa inggris. “Mungkin yes dan no,” aku membatin.
Ibu ingin aku bekerja di luar negeri kalau aku selesai kuliah nanti. Kata ibu, bekerja di sana lebih mudah dan bayarannya lebih besar daripada bekerja di Indonesia.
“Apa-apa di sini harus modal. Mau usaha juga modal. Mau melamar kerja juga modal,” katanya.
Tentu saja modal dalam pengertian ibu adalah uang. Aku diam saja. Lebih banyak menyimak. Mencoba membayangkan jalan pikiran ibu.
“Aku ingin besok kamu menuruti kemauan saya. Aku bersedia mengeluarkan modal, yang penting nanti modalnya kembali.” Ia melanjutkan.
Aku tak pernah menyalahkan jalan pikirannya. Bagiku ibu adalah sosok yang pantas untuk dikagumi. Keadaan keluarga yang membua ibu berkata seperti itu. Ibu tidak igin anak-anaknya hidup dalam kekurangan.
Senja itu pembicaraan kami terpotong oleh suara adzan magrib. Paginya ibu bertanya tentang bagaimana kuliah itu.
“Sulit atau tidak?” Katanya.
Setelah kutanyakan mengapa ibu bertanya begitu, katanya ada berita dari pemerintah, yang telah dua puluh tahun menjadi guru akan diangkat menjadi pegawai negeri. Dan syaratnya minimal Diploma II. Jadi itu alasannya. Ibuku telah hampir dua puluh tahun mengajar. Tinggal tiga tahun lagi genap dua puluh tahun itu.
Ah, apa mungkin ibuku, yang hanya lulus setingkat SLTP itu, bisa mengikuti kuliah? Bayangkan, usianya hampir setengah abad. Namun, aku tidak mengatakan kalimat terakhir ini.
25.09.05
No comments:
Post a Comment
tinggalkan pesan di sini