“Kok pakeane koyo pakean londo, yo?” [Kok pakaiannya seperti pakaian Belanda ya?]
Kalimat itu meluncur dari kernet bus jalur tujuh, Yogyakarta yang saya tumpangi. Saya dalam perjalanan pulang. Bus hampir penuh terisi sore itu. Udara pengap. Jalanan riuh. Bus melaju kencang, kadang mengerem mendadak di lampu merah. Saya menyebut bus jalur tujuh itu “bus balap”. Tapi saya sedang tidak tertarik untuk membahas bus kota yang saya tumpangi di sini. Saya lebih tertarik pada ucapan pak kernet tadi.
Ihwal bagaimana pak kernet bisa berkata seperti di atas, begini ceritanya. Waktu itu, bus sedang melewati sebuah panggung di jalan sebelah pinggir, di sebelah kanan bus. Kebetulan saya duduk di barisan kursi sebelah kanan. Jadinya, saya melihat dengan jelas ada apa gerangan. Saya tidak melihat dengan jelas panggung itu untuk apa. Tapi, saya jelas melihat kursi berderet-deret. Beberapa anak duduk di kursi itu. Berbaris. Terlihat beberapa ibu duduk sebelah-menyebelah dengan anaknya.
Anak-anak itu berpakaian warna-warni dan model yang aneh di mata saya. Sepertinya anak-anak itu hendak pentas. Saya membayangkan mereka adalah grup drum band (Ini hanya bayangan saya dari melihat pakaian mereka. Nyatanya tidak ada peralatan drum band!). Waktu saya melihat ke arah panggung itu pak kernet bus nyeletuk: “kok pakeane koyo pakean londo yo.”
Saya langsung ingat ungkapan Homi K. Bhabha “Almost the same but not quite, almost the same but not white” yang saya terjemahkan dengan bebas begini: hampir sama tapi tidak sama sekali, hampir sama tapi tidak berkulit putih. Saya juga teringat pakaian para prajurit Keraton Yogyakarta. Oh, iya bukankah pakaian para tentara kerajaan itu bukan cuma blangkon dan keris, tapi juga sepatu dan celana panjang. Ini barangkali yang dikatakan pak kernet tadi tentang pakaiane koyo londo.
Mungkin Anda sudah banyak tahu tentang hal ini, bahwa Belanda, yang oleh lidah orang Jawa menjadi Londo, banyak sekali membawa perubahan. Tentu saja ada yang baik, tapi yang buruk juga lebih dahsyat. Tentu saja. Penjajahan selalu membawa dampak yang terus membekas hingga kini. Penjajahan menciptakan konstruksi sosial yang membedakan antara yang terjajah dengan penjajahnya. Perbedaan penjajah dan terjajah itu didasarkan atas oposisi biner. Penjajah mempunyai makna jika ia ditautkan dengan terjajah. Oposisi biner tersebut sekaligus menciptakan penandaan terhadap keduanya. Di mana penjajah adalah kuat, beradab, maju, modern, dan sebagainya. Sedangkan di terjajah menjadi sebaliknya: lemah, bar-bar, stagnan, dan primitif.
Konstruksi tersebut menjadi pembenaran bagi adanya penjajahan. Dianggapnya penjajahan, yang dibarengi dengan penghisapan, pendudukan, dan kontrol pada mereka yang terjajah itu, merupakan misi luhur pemberadaban. Dalih misi pemberadaban itulah yang mengukuhkan posisi penjajah berada di atas yang terjajah. Pembedaan tersebut bukan hanya pada tataran wacana, namun juga pada praktik sehari-hari. Dibentuknya sistem kasta, di mana Bangsa Kulit Putih berada di tempat paling tinggi dan kaum pribumi di tingkat paling dasar adalah contohnya. Hal tersebut berimbas pada akses dan kesempatan masyarakat pribumi, terutama mereka kaum kebanyakan, dalam berbagai hal.
Dikira konstruksi yang mereka bangun melalui oposisi biner antara penjajah dan terjajah seperti air dan minyak. Yang tak dapat bercampur satu sama lain. Tidak. Kebudayaan tidak seperti itu. Di antara keduanya, antara penjajah dan terjajah terdapat hubungan timbal balik di mana yang satu berusaha meniru yang lain. Para peniru merasa bukan lagi pribumi, tetapi juga tidak seratus persen sama dengan penjajahnya. Mereka berada di ruang ketiga atau ruang antara (in between).
Orang-orang kulit putih yang datang dan menjajah itu tidak menyadari bahwa apa kebekuan budaya yang mereka ciptakan akan hancur. Mereka tidak bisa selamanya menjaga keaslian budaya mereka dari peniruan atau cari percampuran dengan budaya yang lain. Mereka tidak menyangka bahwa apa yang mereka lakukan akan ditiru dan menjadi keragaman baru dalam kebudayaan Indonesia (Hindia Belanda waktu itu).
Mari kita permudah masalah ini. Kalimat yang meluncur dari mulut pak kernet waktu melihat sekelompok akan itu adalah contoh peniruan. Ya, peniruan. Kaum pribumi meniru cara berpakaian, model, dan gaya berpakaian Eropa. Ini adalah contoh sederhana dari apa yang dikatakan Bhabha sebagai mimikri. Pada hal yang lebih luas, contoh itu dapat kita kembangkan pada sistem pendidikan, gaya berpikir, selera, dan lain sebagainya.
Kaum penjajah mungkin akan bersikukuh, bahwa meskipun kaum pribumi meniru Eropa, mereka bukan Eropa. Kulit mereka tidak akan berubah putih. Sama halnya dengan Lord Macaulay yang berbicara di depan parlemen Inggris pada 1835 tentang pentingnya kelas cendekiawan baru yang menjadi perantara penjajah dan pribumi. Dalam pandangannya, kelompok baru yang dididik dengan pendidikan Eropa itu akan “menerjemahkan” kehendak kolonial di tanah koloninya.
Namun, agaknya apa yang menjadi ideal wacana kolonial tentang oposisi biner dan kebekuan budaya berbeda dengan kenyataan. Peniruan pribumi pada kolonial justru menjadi bentuk ejekan dan menghancurkan batas-batas terjajah dan penjajahnya. Peniruan itu selalu melenceng jauh dari apa yang ditirunya. Seperti seorang anak kecil yang disuruh menyalin gambar yang sudah jadi. Di sini apa yang dianggap sebagai sifat kodrati yang membedakan Barat dan yang bukan Barat menjadi runtuh. Demikian pula oposisi biner yang dibangun untuk melanggengkan kekuasaan Barat atas yang lain.
Memang, kebudayaan akan selalu begitu. Ia akan serap-menyerap, yang lalu menjadi bentuk baru yang berbeda. Apa yang dikatakan pak kernet mengusik kesadaran saya bahwa budaya dan simbol-simbol budaya bukan sesuatu yang beku dan kaku. Ia adalah sesuatu yang cair dan beragam.
No comments:
Post a Comment
tinggalkan pesan di sini