Pages

4.14.2008

Ode untuk Ibu

1—
Rambutnya kini sudah beruban. Wajahnya juga tidak sesegar dan secantik beberapa tahun yang lalu. Sebagaimana dalam foto ijasah yang kulihat. Kikis oleh usianya dan beban yang tidak bertambah ringan. Dan, yang pasti Ibu semakin letih. Banyak hal yang dicemaskan. Hari tuanya, masa depan anak-anaknya, juga (mungkin) kebahagiaannya sendiri.

Suatu hari, dulu, sekira pertengahan 2005, Ibu pernah bilang ingin berhenti mengajar. “Aku capek, aku ingin cari uang.” Mungkin bosan dengan kegiatannya mengajar. Atau barangkali Ibu betul-betul sudah tak tahan dengan kondisinya. Keinginan yang wajar dan tidak muluk-muluk. Ingin memperbaiki rumah, ingin menyekolahkan anak-anaknya, dan ingin mencukupi kebutuhan rumah tangga lainnya. Pernah beberapa kali di sela-sela obrolan kami Ibu menyinggung soal kapan bisa memperbaiki rumah.
Apa hendak dikata, suaminya, bapakku hanya petani kelas gurem, yang hanya mewarisi beberapa petak sawah. Itu pun semakin bertambah tahun semakin sempit. Semakin tinggi pendidikan kami anak-anaknya, semakin berkurang ukuran tanah warisan dari orangtuanya. Ya, kalau kau ingin tahu, orang-orang desa yang miskin seperti kami, apa lagi yang hendak ia jual kalau bukan tanah. Tanahlah satu-satunya yang menjadi milik kami, yang dengan sedih hati kami jual. Berharap mungkin suatu ketika kelak kami bisa membeli lagi.

Akhirnya Ibu seolah ingin membuktikan ucapannya. Beberapa bulan kemudian Ibu pergi ke Semarang. Aku tidak tahu persis kepergiannya. Waktu itu aku di kuliah di Salatiga, dan jarang pulang. Melalui adik sulungnya, Ibu mendapatkan pekerjaan di kota itu. Entah kerja apa aku kurang begitu jelas. Katanya, menjadi pembantu di rumah seorang kyai yang sekaligus tabib. Perihal tersebut aku ketahui dari Bapak ketika suatu hari aku pulang dan tak mendapatinya di rumah.

Aku kecewa mengapa Ibu tak juga mengurungkan niatnya. Ibu memang pernah mengatakan niatnya kepadaku, tepatnya meminta pertimbangan. Bagaimana kalau Ibu bekerja ke kota atau keluar negeri. Waktu itu aku sedang menemaninya memasak. Aku marah-marah mendengar apa yang dikatakannya. ”Kalau mau berjuang, ya berjuang saja. Tidak usah mikir yang macem-macem!” Ibu diam saja. Merenung. Aku jadi kasihan melihatnya. Dalam hati aku menyesal mengapa aku berkata sekeras itu.

Toh, kemauannya memang tak bisa dicegah. Ibu berangkat juga mencari pekerjaan beberapa minggu setelah aku kembali ke Salatiga. Ibu meninggalkan Bapak dan adikku yang waktu itu masih kecil. Ibu meninggalkan riuh-rendah anak-anak yang diajarnya. Tak ada lagi yang berteriak, ”Nak, hayo jangan ke jalan raya!” Atau mengajari mereka menyanyi serta menyuruh mereka mewarnai gambar.

Belum genap satu bulan bekerja di kota Ibu pulang karena disuruh adik iparnya yang mantan kepala desa dan penanggungjawab taman kanak-kanak tersebut. Akhirnya Ibu mengajar lagi.

2—
Ibuku hanya keturunan petani rendahan. Bapaknya tak pernah mengenyam pendidikan, mungkin hanya sampai sekolah rakyat. Ibunya pun sama, tak pernah sekolah. Beruntung Ibuku masih bisa sekolah hingga setingkat sekolah menengah pertama. Madrasah Mualimin di sebuah pesantren sekitar setengah jam perjalanan dari tempat tinggal kami saat ini.

Ibu mengajar di sebuah taman kanak-kanak di desa kami. Namanya TK Al-Bidayah, terletak di dusun yang berbeda. Satu kilometer dari tempat dusun kami. Setiap pagi, ketika orang-orang dusun berangkat ke sawah, Ibu sudah berdandan rapi. Kemudian berangkat, menyeberangi sungai dan naik bukit untuk sampai di tempatnya mengajar. Begitu pula ketika siang matahari panas membakar, Ibu akan pulang dari tempatnya mengajar. Menyeberangi menuruni bukit, melewati beberapa petak sawah, dan menyeberangi sungai. Kadang-kadang kalau datang musim penghujan dan sungai itu sedang banjir sekolah akan diliburkan.

Aku akan selalu terkenang dengan peristiwa beberapa tahun lalu, ketika aku berangkat sekolah dasar dan melewati TK itu. Setiap kali Ibu datang dari jauh anak-anak muridnya akan berlarian dan menyambutnya. 
Bu guru rawuh! Bu Guru rawuh!” (Bu Guru, datang! Bu Guru, datang!) 
Anak-anak akan mengucapkan kalimat itu berulang-ulang. Melagukannya seperti paduan suara. Beberapa dari mereka melonjak-lonjak girang. Kemudian mereka saling berebut menyalami gurunya, lalu mengaraknya menuju kelas.
”Sudah berapa tahun sih Ibu mengajar?” Suatu hari aku iseng bertanya.
”Berapa, ya. Kalau tidak salah sudah lebih dari tujuh belas tahun?”
 
Aku melongo. Tak percaya ternyata sudah selama itu. 
”Wah, sudah lama juga ya.” kataku kemudian. Aku tidak tahu kapan persisnya Ibu mulai mendirikan sekolah dan mulai mengajar di situ. Waktu itu aku masih duduk SD. Masa-masa itulah sebenarnya yang mungkin sulit bagi Ibu. Bayangkan saja, gedung masih menumpang selama hampir lima tahun di balai desa sejak masuk pertama kali. Menempati ruang yang biasa digunakan untuk pertemuan. Ruangan yang dulu menjadi tempat tinggal aku dan paman.

Dalam tahun-tahun itu pula, pemasukan sekolah hanya mengandalkan SPP (dulu BP3) yang hanya lima ratus rupiah. Itu pun pembayarannya tersendat-sendat. Ditambah bantuan dari dana desa yang tak seberapa besarnya. Setiap rapat dengan orangtua murid, setiap usulan untuk menaikkan SPP, banyak orangtua murid yang tidak setuju. Bahkan mereka mengancam akan menarik anaknya dari TK tersebut.

Dalam beberapa tahun pula, Ibu mengajar sendirian. Pernah ada yang membantunya mengajar, seorang perempuan yang usianya lebih muda dari ibu. Tapi hanya bertahan beberapa bulan. Jangan tanya soal gaji. Ibuku bukan pegawai negeri. Hanya, seperti yang sering Ibu katakan, berjuang.

3—
Saat ini, di tengah umurnya yang hampir mendekati empat puluh tahun Ibu masih naik-turun bukit untuk mengajar. Namun, sekarang kondisinya sudah lebih baik dibanding beberapa tahun lalu. Ibu tidak lagi mengajar sendirian karena sejak kira-kira tiga setengah tahun lalu ada yang membantunya mengajar. Ibu juga sudah mendapat honor dari pemerintah, meskipun sangat sedikit dan diberikan secara tidak pasti.

Aku tidak tahu nominal honor itu secara pasti. Yang jelas uang yang diperoleh tiap tiga bulan itu tidak lebih dari lima ratus ribu. Mungkin hanya tiga ratus atau tiga ratus ribu. Itu pun prmberiannya tidak pasti tiap bulan. Kadang tiga bulan sekali, kadang setengah tahun. (Kalau menurutku jika pemerintah lagi ingat dan tidak sedang sibuk he he). Yah, begitulah. Lebaran tahun 2007 kemarin, Ibu menerima uang itu sejumlah sembilan ratus ribu untuk satu tahun. Tapi katanya diminta lagi oleh pemerintah karena terdapat kekeliruan.

Ah, sudahlah, ”Tidak usah membicarakan uang di sini.”

No comments:

Post a Comment

tinggalkan pesan di sini