“Kalau kamu tidak bisa berhasil di tanahmu sendiri, maka hijrah menjadi jawaban.”
Begitu seorang kawan pernah menyarankan. Beberapa tahun lalu, sekira pertengahan tahun 2005. Ketika kami membincangkan rencana masing-masing. Ketika itu aku bilang pada mereka kalau aku sudah mentok untuk meneruskan kuliahku yang terbengkalai. Akhirnya berbekal petunjuk sebuah iklan pendafataran mahasiswa baru di Kompas, saya berangkat ke Yogyakarta. Kota yang kutinggali saat ini.
Aku mendaftar di kampusnya Widya Mataram. Aku tak tahu kualitas kampusnya seperti apa, dosennya kayak gimana, ada mahasiwanya atau tidak. Yang aku tahu berdasar iklan itu, di sana disediakan beasiswa bagi siapa yang mendaftar. Setahun pertama penuh atau selama pendidikan. Kuhitung-hitung biaya per-sks. Tidak lebih dari tiga puluh ribu. Kiranya aku kuat membayar, pikirku. Akhirnya kuputuskan. Kujual HP-ku satu-satunya. Kalau ingatanku tidak meleset HP itu terjual seratus lima puluh ribu. Uangnya kugunakan untuk ongkos perjalanan dan biaya pendafataran.
Sampai di terminal Yogya aku bingung. Aku pernah ke Yogya. Tapi, tempat kampus yang ini aku belum tahu. Sambil berjalan menuju peron terminal aku diserbu pertanyaan, bagaimana aku bisa ke kampus itu padahal aku tak tahu tempatnya? Lalu datang sepercik ide. Aku menelepon ke nomor sekretariat pendaftaran yang tertera di iklan. Berhasil. Dari seberang terdengar seorang perempuan. Mungkin pegawai pendaftaran. Dari perempuan itu aku dapat petunjuk. Aku harus naik bus jalur sepuluh, turun di perempatan, lalu disuruhnya aku naik becak dari perempatan itu ke kampus. kuturuti apa perintahnya.
Sampai di kampus Widya Mataran aku langsung menuju kekretaiat pendafaran. Sepi. Kemudian seorang perempuan setengah baya muncul dari ruang lain sekretariat pendaftaran tersebut.
“Bu, saya mau nanya soal pendaftaran.”
“Oo, silakan mas, mas yang tadi telepon ya.”
“Benar, Bu,” kataku
Kemudian ia meyodorkan berkas pendaftaran, dan menjelaskan jurusan, serta biaya yang mesti dibayarkan.
“Ehmm, soal beasiswa itu gimana, Bu. Katanya ada beasiswa ya.”
“Oh, ya betul mas. Tapi itu untuk lulusan tahun 2004 ke atas mas.” Katanya.
Aku langsung lemes. Tapi apa hendak dikata. Aku sudah terlanjur, aku harus terus. Apa pun yang terjadi. Aku meyakin-yakinkan diri sambil membayangkan dari mana aku dapatkan uang untuk membayar kuliah.
Beberapa minggu setelah itu, aku kembali ke Yogya. Kali ini bukan dalam rangka mencari tempat kuliah. Tujuanku ke Teater Tangga untuk mengajukan surat ijin pementasan naskah “Berbiak dalam Asbak” dari Teater Getar. Bersama seorang teman, Nurul, aku berangkat. Kami menginap Di sekretariat mapala UIN Sunan Kalijaga dengan harapan ada yang mau mengantar kami ke Teater Tangga esok paginya. Di kampus UIN, iseng aku ke kantor TU untuk minta brosur pendafataran. Di situ kulihat ada jurusan sosiologi. Kulihat biayanya juga tidak terlalu mahal.
Akhirnya aku mendaftar di jurusan itu. Jurusan Sosiologi UIN sunan Kalijaga. Diterima. Aku lupakan kampus Widya Mataram yang ujian masuk pun belum kujalani.
Tidak seperti Nabi Muhammad yang disambut dengan segala suka cita dan dielu-elukan ketika mereka datang ke kota Medinah dalam rangka hijrah, aku datang ke kota ini dengan setumpuk dendam. Tak ada yang mengelukan. Tak ada yang menyambut. Beruntung aku masih punya beberapa kenalan anak-anak mapala dan kawan pergerakan.
Awal kehidupanku di yogya sedikit muram. Sedikit teman, tanpa keuangan pasti, dan yang jelas belum mendapatkan tempat tinggal. Bulan Juli hingga awal September tahun yang sama, aku sering bolak-balik Salatiga-Yogyakarta untuk mengurus segala sesuatu terkait dengan kuliah. Pertengahan september aku menumpang di sekretariat sebuah organisasi pergerakan, KMPD, sebuah organisasi basis FPPI.
Selanjutnya aku tenggelam di kota ini. Tenggelam dalam segala hiruk-pikuk, keribetan, kesibukan, dan, kadang, ketakpeduliannya. Aku merasai diri ini serupa seorang kanak di tengah belantara.
Bulan november 2005, usai lebaran aku pindah kos. Di sebuah dusun di Maguwoharjo. Ada tiga kamar. Dua sudah terisi. Aku dapat bagian paling ujung, dekat kamar mandi. Di kamar inilah bayangan teman-temanku di Salatiga sering datang menyergap. Apalagi sewaktu aku tidur. Mereka datang satu persatu secara bergiliran setiap malam. Entah, mungkin aku merindukan mereka. Atau hanya karena aku kesepian. Aku memang sering berdiam di kos. Sedang dua penghuni kamar yang lain selalu keluar hingga menjelang dini hari.
Di kamar itu tak ada kegiatan lain selain tidur, membaca buku, dan kadang-kadang menulis, juga melamun.
Hijrah mungkin merubah sesuatu. Sebagai sebab maupun akibat. Menjauhkan dari yang asal dan mendekatkan kepada yang baru. Yang baik juga yang buruk. Bagaimana dengan hirah yang dilakukan dengan setumpuk dendam? Waktu yang akan menjawab. Mungkin aku hanya butuh melakukan sesuatu.
12.01.08
Begitu seorang kawan pernah menyarankan. Beberapa tahun lalu, sekira pertengahan tahun 2005. Ketika kami membincangkan rencana masing-masing. Ketika itu aku bilang pada mereka kalau aku sudah mentok untuk meneruskan kuliahku yang terbengkalai. Akhirnya berbekal petunjuk sebuah iklan pendafataran mahasiswa baru di Kompas, saya berangkat ke Yogyakarta. Kota yang kutinggali saat ini.
Aku mendaftar di kampusnya Widya Mataram. Aku tak tahu kualitas kampusnya seperti apa, dosennya kayak gimana, ada mahasiwanya atau tidak. Yang aku tahu berdasar iklan itu, di sana disediakan beasiswa bagi siapa yang mendaftar. Setahun pertama penuh atau selama pendidikan. Kuhitung-hitung biaya per-sks. Tidak lebih dari tiga puluh ribu. Kiranya aku kuat membayar, pikirku. Akhirnya kuputuskan. Kujual HP-ku satu-satunya. Kalau ingatanku tidak meleset HP itu terjual seratus lima puluh ribu. Uangnya kugunakan untuk ongkos perjalanan dan biaya pendafataran.
Sampai di terminal Yogya aku bingung. Aku pernah ke Yogya. Tapi, tempat kampus yang ini aku belum tahu. Sambil berjalan menuju peron terminal aku diserbu pertanyaan, bagaimana aku bisa ke kampus itu padahal aku tak tahu tempatnya? Lalu datang sepercik ide. Aku menelepon ke nomor sekretariat pendaftaran yang tertera di iklan. Berhasil. Dari seberang terdengar seorang perempuan. Mungkin pegawai pendaftaran. Dari perempuan itu aku dapat petunjuk. Aku harus naik bus jalur sepuluh, turun di perempatan, lalu disuruhnya aku naik becak dari perempatan itu ke kampus. kuturuti apa perintahnya.
Sampai di kampus Widya Mataran aku langsung menuju kekretaiat pendafaran. Sepi. Kemudian seorang perempuan setengah baya muncul dari ruang lain sekretariat pendaftaran tersebut.
“Bu, saya mau nanya soal pendaftaran.”
“Oo, silakan mas, mas yang tadi telepon ya.”
“Benar, Bu,” kataku
Kemudian ia meyodorkan berkas pendaftaran, dan menjelaskan jurusan, serta biaya yang mesti dibayarkan.
“Ehmm, soal beasiswa itu gimana, Bu. Katanya ada beasiswa ya.”
“Oh, ya betul mas. Tapi itu untuk lulusan tahun 2004 ke atas mas.” Katanya.
Aku langsung lemes. Tapi apa hendak dikata. Aku sudah terlanjur, aku harus terus. Apa pun yang terjadi. Aku meyakin-yakinkan diri sambil membayangkan dari mana aku dapatkan uang untuk membayar kuliah.
Beberapa minggu setelah itu, aku kembali ke Yogya. Kali ini bukan dalam rangka mencari tempat kuliah. Tujuanku ke Teater Tangga untuk mengajukan surat ijin pementasan naskah “Berbiak dalam Asbak” dari Teater Getar. Bersama seorang teman, Nurul, aku berangkat. Kami menginap Di sekretariat mapala UIN Sunan Kalijaga dengan harapan ada yang mau mengantar kami ke Teater Tangga esok paginya. Di kampus UIN, iseng aku ke kantor TU untuk minta brosur pendafataran. Di situ kulihat ada jurusan sosiologi. Kulihat biayanya juga tidak terlalu mahal.
Akhirnya aku mendaftar di jurusan itu. Jurusan Sosiologi UIN sunan Kalijaga. Diterima. Aku lupakan kampus Widya Mataram yang ujian masuk pun belum kujalani.
Tidak seperti Nabi Muhammad yang disambut dengan segala suka cita dan dielu-elukan ketika mereka datang ke kota Medinah dalam rangka hijrah, aku datang ke kota ini dengan setumpuk dendam. Tak ada yang mengelukan. Tak ada yang menyambut. Beruntung aku masih punya beberapa kenalan anak-anak mapala dan kawan pergerakan.
Awal kehidupanku di yogya sedikit muram. Sedikit teman, tanpa keuangan pasti, dan yang jelas belum mendapatkan tempat tinggal. Bulan Juli hingga awal September tahun yang sama, aku sering bolak-balik Salatiga-Yogyakarta untuk mengurus segala sesuatu terkait dengan kuliah. Pertengahan september aku menumpang di sekretariat sebuah organisasi pergerakan, KMPD, sebuah organisasi basis FPPI.
Selanjutnya aku tenggelam di kota ini. Tenggelam dalam segala hiruk-pikuk, keribetan, kesibukan, dan, kadang, ketakpeduliannya. Aku merasai diri ini serupa seorang kanak di tengah belantara.
Bulan november 2005, usai lebaran aku pindah kos. Di sebuah dusun di Maguwoharjo. Ada tiga kamar. Dua sudah terisi. Aku dapat bagian paling ujung, dekat kamar mandi. Di kamar inilah bayangan teman-temanku di Salatiga sering datang menyergap. Apalagi sewaktu aku tidur. Mereka datang satu persatu secara bergiliran setiap malam. Entah, mungkin aku merindukan mereka. Atau hanya karena aku kesepian. Aku memang sering berdiam di kos. Sedang dua penghuni kamar yang lain selalu keluar hingga menjelang dini hari.
Di kamar itu tak ada kegiatan lain selain tidur, membaca buku, dan kadang-kadang menulis, juga melamun.
Hijrah mungkin merubah sesuatu. Sebagai sebab maupun akibat. Menjauhkan dari yang asal dan mendekatkan kepada yang baru. Yang baik juga yang buruk. Bagaimana dengan hirah yang dilakukan dengan setumpuk dendam? Waktu yang akan menjawab. Mungkin aku hanya butuh melakukan sesuatu.
12.01.08
aku ingat kisah yang diburai mbah Mursyid beberapa saat silam, tentang si miskin yang ditolak memasuki gerbang surga karena dia (si miskin) itu menyianyiakan rahmat Allah yang bernama keluasan kesempatan yang disediakanNya, semoga kita tidak termasuk kedalam golongan warga yang terlambat menyadari keterlambatannya. Salam dari Baginda Stanis untuk kalian semua.
ReplyDeletega jadi kuliah di widya mataram?
ReplyDeletedulu aku gratis kuliah di sana selama
klo ga salah 5 semester....beasiswa...
lagian disana kuliah dulu baru bayar...