Tubuh bukan lagi sekumpulan tulang, daging, urat dan kulit yang padu dalam fungsi yang utuh. Pengertian tubuh manusia bisa terpotong-potong ke dalam artefak-artefak, di mana setiap artefak mempunyai ideal masing-masing. Misalnya besar payudara, besar pinggul, model rambut—lurus atau keriting, warna kulit, dan lain sebagainya.Banyak hal bermain peran dalam skenario dekonstruksi atas tubuh manusia. Mulai dari media massa, hingga salon kecantikan pinggir jalan. Semua mengarah pada satu hal. Kepentingan modal dan gaya hidup; penampilan, yang secara tak langsung disepakati. Di satu sisi, ini merupakan berkah bagi industri kosmetik dan pengusaha salon kecantikan. Namun, di sisi lain, adalah celaka bagi manusia,-- makhluk yang berdimensi ragam--ketika masuk dalam kesadaran homogen-imitatif dan manipulatif itu. Dalam kesadaran hegemonik ini manusia tidak lagi bebas memilih model rambut, bentuk tubuh, ukuran betis, dan penampilannya.
Relasi “berkah bagi industri dan celaka untuk manusia” seperti di sebutkan di atas, sebenarnya bukan tanpa ketegangan. Pertentangan antara kepentingan ekonomi dan kehidupan manusia telah meletakkan manusia di bawah subordinasi ekonomi. Segala sesuatu mengenai kehidupan manusia disimplifikasi dalam term ekonomis dan tunduk pada kekuatan kapital. Mulai dari relasi sosial, tujuan hidup, relasi budaya, hingga tak luput agama. Manusia kemudian muncul sebagai Homo Economicus, yang mengukur segala sesuatu dengan ukuran-ukuran ekonomi.
Begitu pula yang terjadi dengan tubuh. Tubuh dianggap sebagai investasi yang dianggap sebagai komoditas bagi kepentingan ekonomi. Komodifikasi tubuh dilakukan oleh industri kosmetik dan fashion dengan cara membentuk kesadaran masyarakat melalui iklan di berbagai media massa. Iklan tersebut selanjutnya menciptakan image ideal tubuh manusia. Tubuh sebagaimana diidealkan industri kosmetik yakni, yang putih mulus kulitnya, rambut lurus, ukuran dada tertentu, berpakaian model paling anyar bermerek terkenal, dan lan sebagainya.
Sayangnya, hegemoni iklan seperti disebut di atas kelewat kuat dari kesadaran manusia. Sehingga, pesan simbolik dalam narasi iklan tersebut diterima mentah-mentah. Apalagi, logika modernitas akhir jarang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan refleksi. Aninal simbolicum, manusia yang memahami simbol, sebagaimana digagas Ernst Cassier (Adian, 2005), dibelokkan seturut kepentingan kapitalisme. Kekuatan hegemoni modal yang direpresentasikan melalui mode, fashion, dan gaya hidup, memaksa kita menggulati realitas tanpa melakukan interprestasi. Akhirnya disadari atau pun tidak, kesadaran manusia tidak berjarak sedikit pun dari realitas di luar dirinya.
Di level mikro, manusia adalah makhluk eksistensial yang ingin diakui keberadaannya. Cara meng-“ada” masyarakat di akhir modernitas bukan lagi karena berpikir, tetapi karena mengkonsumsi. Identitas yang diperlihatkan individu dalam gaya hidup, mengarah pada diferensiasi antar status simbolik dan kelas sosial. Keintiman manusia terpenggal dalam jarak antara kamu-aku atau kami dan mereka. Masing-masing kelompok ini menampakkan simbol kelas dan status mereka.
Hal tersebut berpengaruh pada individu-individu, ketika menampakkan simbol sesuai masyarakat kebanyakan. Sebab dengan seperti itu, individu merasa dirinya menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Sepakat dengan Goffman dengan teori dramaturginya, bahwa diri ditentukan oleh kondisi sosialnya (Poloma, 2003). Oleh karenanya, individu, dalam interaksi yang mereka lakukan ingin selalu menunjukkan citra diri yang terbaik. Citra diri atau tampakan luar individu akan terasa lebih penting daripada substansi.
Dari sinilah kemudian politisasi tubuh manusia berkembang biak. Penampilan yang terlihat pada individu sangat penting karena menjadi sumber utama makna. Individu mengontrol penampilan mereka sendiri dan penampilan orang lain dalam pergaulan sosial. Sehingga, tampakan luar selalu melekat pada makna tertentu. Dalam hal ini, persoalan perbedaan gaya hidup antar kelas dan status merupakan manipulasi dan interpretasi tampakan luar individu (Chaney: 1996).
Iklim masyarakat modern yang kompetitif dan individualistik, juga membentuk iklim persaingan dalam hal menampilkan diri. Kondisi kompetitif masyarakat dalam hal gaya hidup, mengakibatkan segala sesuatu berhenti pada kesemuan. Masyarakat tidak lagi memperhitungkan apakah benda yang mereka konsumsi berguna atau tidak. Sebab, logika konsumsi masyarakat adalah sekaligus pemenuhan hasrat untuk diakui di masyarakat. Akhirnya masyarakat terjebak dalam artifisialitas hidup. Berlebihan dalam mengkonsumsi menjadi ritus keseharian manusia.
Masyarakat di akhir modernitas berlomba menjadi ideal sebagaimana dilukiskan iklan dan dikehendaki kapitalisme. Mereka tak peduli dari kelas mana dan golongan apa. Apakah miskin atau kaya, yang terpenting penampilan. Simbol yang mereka tampilkan melalui apa yang mereka pakai dan konsumsi menunjukkan identitas. Perilaku mereka serupa teriakan “aku bersolek, maka aku ada!”
No comments:
Post a Comment
tinggalkan pesan di sini