Matahari mulai meninggi menebarkan panas dan cahayanya. Lagu Indonesia Raya mengalun dengan serak dari mulut 23 orang pemuda, mengawali aksi anti Neo-Imperialisme dan Neo-Kolonialisme untuk menyikapi hajatan besar KAA yang sedang berlangsung di Jakarta. Spanduk merah dengan tulisan “Front Anti Neo-Kolonial dan Neo-Imperial berada di depan barisan. Sekitar jam 9.35 massa aksi mulai bergerak dari halaman kampus UKSW dan direncanakana berakhir di STAIN. Dalam aksi kali ini FPPI beraliansi dengan Forum Cemara dari GENI.
Sambil berjalan, saya, Martin, Iier dan Tommy bergantian melakukan orasi, sementara sebagian yang lain menyanyikan lagu-lagu perjuangan ala FPPI dan yel-yel. Tak ada bendera R berkibar diantara barisan, hanya diwarnai spanduk dan poster. Kawan Camat berjalan paling depan melakukan Happening Art yang dituntun oleh Gundul dari Dewan Kota Solo - DK Solo mengirimkan empat kadernya untuk ikut aksi. Kedua matanya ditutup dengan kain bertuliskan Globalisasi, tubuhnya dilumuri dengan cat warna merah putih—sebagai simbol Indonesia- sedang di dadanya menggantung kalung rafia berbandul kardus bertuliskan WTO, IMF dan World Bank. Ia berjalan menyeret 3 buah kaleng berisi kerikil dengan tulisan buruh, petani, kaum miskin kota dan Indonesia.
Sampai di bundaran kami berhenti sebentar untuk melakukan orasi, diteruskan dengan menyanyikan lagu Darah Juang kemudian lagu Bangun Pemuda-Pemudi. Selanjutnya barisan berjalan di tengah -samping sebelah kanan dengan sengaja- menyusuri Jl Jendral Sudirman. Berhenti di depan pasar Raya II, orasi sebentar dan kemudian berjalan lagi.
Belum jauh kami melangkah, dari arah belakang barisan, muncul mobil patroli polisi, menyuruh kami minggi ke sebelah kiri dengan alasan mengganggu jalan. Kamipun minggir sambil tetap meneriakkan yel-yel dan nyanyi. Nampaknya polisi merasa jengkel dengan ulah kami. Tiga orang anggota polisi itu menghentikan mobilnya setelah tadinya berlalu. Mereka berdiri di pinggir jalan dengan posisi menghadang barisan, namun barisan tak menggubris dan terus berlalu. Tepat ketika sampai di hadapannya, mereka menanyai kawan-kawan satu persatu,
”Siapa yang tertua?” tanya salah seorang dari polisi tersebut
“Belakang, Pak!” jawab kawan-kawan berurutan, seakan dikomando mulai dari depan hingga belakang.
“Kamu yang tertua?” tanya salah satu polisi pada Binta, anak UKSW.
“Dia, Pak!” jawab Binta sambil menunjuk ke arahku.
“O…. kamu, sini dulu kamu!” polisi itu mengajakku ke pinggir jalan sementara barisan terus berlalu. “Ini maksudnya apa? Apa tuntutannya?” tanyanya.
“Anti Nekolim Pak!” jawabku menyerahkan lembar pers release. Agaknya polisi itu malas membaca, hanya mengamati sebentar dan menyerahkan kembali padaku. Mungkin inilah tipikal polisi kita; hanya pakai otot dan malas kalau disuruh pakai otak.
“Kamu ini gimana, ada ijin nggak ini?”
“Kan kurang dari duapuluh Pak.” Jawabku berbohong. Aku pun juga tidak tahu bagaimana aturan sebenarnya.
“Iya, tapi kan harusnya ada pemberitahuan. Kamu tahu peraturan nggak sih. Nama kamu siapa?”
“Rohman Pak.”
“Ada tanda pengenal?”
Kemudian aku membuka dompet dan menyerahkan kartu Anggota Mapala pada salah seorang anggota polisi itu. Polisi itu -yang sepertinya baru lulus pendidikan—mencatat nama dan alamatku pada selembar kertas. Sementara kawan-kawanku yang lain seperti Sigit, Jober Gundul dan Binta merubung. “Wah korban penculikan ini ya Pak.” Aku nyeletuk saat polisi itu menulis. Sekilas kulihat kalau polisi tersebut grogi, terlihat dari tangannya saat menulis.
Setelah selesai mencatat identitasku polisi yang berpangkat paling tinggi diantara mereka—entah pangkatnya apa—memperingatkan,“Besok lagi kalau mau aksi harus ijin. Kalau tidak saya bubarkan. Ini peringatan! Itu temen-temennya suruh bubar dulu.”
“Ya Pak. matur suwun Pak” jawabku sambil berlalu. Lima orang; aku, Binta, Gundul, Jober dan Sigit menyusul kawan-kawan lain sambil tertawa dan mengumpat.
Ternyata polisi tidak puas, sebab kami masih melanjutkan aksi. Sampai di depan kantor DPRD polisi benar-benar membubarkan aksi. Aksi pun bubar, dan kawan-kawan berjalan ke pinggir atas trotoar. Dari belakang Jober berteriak: “Hooi…orasi lagi aja, sudah hampir sampai!”
Mobil polisi berlalu mengitari lapangan pancasila kemudian berhanti dihadapan kami. “Sudah sana bubar!!..” Polisi-polisi tersebut nampaknya sangat gusar.
“Iya Pak,”jawab Camat yang saat itu masih menyeret kalengnya. “Hei, Mas! Dilepas aja itu kalengnya!”
“Nggak Pak, tak pegangin aja Pak” jawab Camat.
“ Tapi kamu jangan menarik perhatian terus, suruh bubar dari tadi nggak mau”. Camat menyeberang jalan menuju lapangan Pancasila, disusul saya dan kawan lain. Sebagian kawan sudah sampai ditengah lapangan.
Bukannya kembali ke kampus—yang bersebelahan dengan lapangan pancasila—kawan-kawan malah duduk melingkar di tengah lapangan pancasila, “Kita disini aja, nanti kalau polisinya datang kita lari,” kata salah seorang diantara kami.
Dan ternyata benar, polisi yang masih berada di pinggir lapangan, di depan kantor Polres sejak tadi masih mengawasi. Kemudian mengejar kami ke tengah lapangan dengan mobilnya. Sontak kami berhamburan berlari menuju kampus. Tinggal Camat dan Sigit yang tertinggal. Lucunya saat dikejar polisi kedua kawan kami itu berlari sambil tertawa Camat yang menyeret kaleng dan Sigit yang pahanya kena penyakit bisul tertangkap dan mereka pun bersitegang.
“Hei, kamu ikut ke kantor saja.” Polisi menggertak sambil menarik jaket yang dipakai Sigit.
“Enggak mau pak!” jawabnya.
“Ini apa ini? bawa kayak gini!” polisi itu kemudian menendang kaleng yang sejak tadi masih bersama Camat. “Sudah lepas saja, kamu itu suruh bubar kok nggak bubar bubar. Apa ikut ke kantor sekarang?”
“Nggak mau pak, ya…. ini saya lepas dulu Pak nanti saya tak lari.” Sigit melepas tali kaleng yang dipasang di celana Camat. Mereka berdua pun kemudian lari ke arah kampus. Kawan-kawan yang lain sudah berkumpul di samping gerbang kampus sambil memperhatikan ke tengah lapangan. Hampir saja kedua kawan kami itu dibawa ke kantor polisi. Ketika polisi dan dua orang kawan kami sedang bersitegang itu datang seorang wartawan dari Suara Merdeka mengambil gambar.
Setelah selesai semua berjalan ke gerbang sambil tertawa terbahak-bahak. Begitu juga dengan dua wartawan yang mengikuti hingga ke depan gerbang. Mereka hanya bisa terpingkal melihat ulah kami tadi. “Apa diulangi saja adegan kejar-kejaran tadi, aku belum dapat gambar bagus.” Kata salah seorang wartawan itu yang kemudian memperlihatkan hasil bidikan gambarnya. Di layar belakang kamera digital tersebut terlihat gambar orang yang berlari, dengan gigi terlihat karena tertawa. Sementara gambar lain menunjukkan dua orang yang diinterogasi polisi.
Massa aksi akhirnya membubarkan diri dan masuk ke dalam kampus. Sementara wartawan pulang dengan wajah agak kecewa karena tidak berhasil merayu kami untuk kembali melakukan adegan kejar-kejaran dengan polisi dengan harapan bisa mendapatkan gambar yang bagus. Kami kemudian melakukan evaluasi dan selesailah sudah aksi –atau tepatnya petualangan kami melawan polisi- hari ini.
220405
Massa aksi akhirnya membubarkan diri dan masuk ke dalam kampus. Sementara wartawan pulang dengan wajah agak kecewa karena tidak berhasil merayu kami untuk kembali melakukan adegan kejar-kejaran dengan polisi dengan harapan bisa mendapatkan gambar yang bagus. Kami kemudian melakukan evaluasi dan selesailah sudah aksi –atau tepatnya petualangan kami melawan polisi- hari ini.
220405
Halo Kamerad Kiting...
ReplyDeleteMembaca pengalaman kawan2 R dikejar2 polisi saat demo ternyata lebih dramatis ketimbang mendengar dari obrolan di kamp. hehehe...
mampir ke blog ku ya ting....
Gendut