Pages

12.07.2007

Membaca Afrizal Malna di Panggung Teater

“aku ingin tetap di sini, melawan bahasa!”

Kalimat di atas menutup pementasan “Keluarga yang dikuburkan”, oleh kelompok Teater TESA Surakarta, 16 November 2007 di aula STAIN Salatiga. Menonton pertunjukan teater tersebut, mengingatkan saya pada sosok penyair Afrizal Malna dalam berbagai puisi yang ia tulis. Pertunjukan tersebut, bagi saya, hampir serupa dengan teks-teks Afrizal. Penuh teka-teki, namun sarat protes sosial. Kalimat-kalimat yang meluncur dari percakapan antar pemain seolah berdiri sendiri, namun sesungguhnya berangkai. Dan ini adalah khas teks puisi Afrizal.

Di sini, saya tidak ingin membahas teknis pementasan tersebut diolah ke hadapan saya sebagai penonton. Atau cara penulis naskah mengadaptasi teks-teks Afrizal menjadi naskah panggung. Saya bukan orang yang banyak tahu tentang tetek-bengek ihwal pementasan. Saya lebih banyak tertarik dengan—menurut saya--pesan sosial yang ingin disampaikan oleh pementasan tersebut. Tentunya ketertarikan itu pun subjektif saya.
Dunia terlukis dalam sebentuk kekacauan. Barangkali inilah kritik yang ingin disampaikan atas kondisi dunia saat ini sebagai resiko modernitas. Modernitas bukan hanya membawa manusia pada rasionalisasi, namun juga lengkap dengan kengerian-kengerian. Pembabatan hutan, berbagai pembunuhan, limbah produksi, konsumerisme, adalah sebagian kengerian yang melengkapi kehidupan modern.
Televisi secara langsung maupun tidak, di sebagian wajahnya, turut membentuk kekacauan itu. Tabung televisi mendidik dan menenggelamkan manusia, sekaligus menjadi candu yang menuntut kita untuk patuh. Meski tanpa alasan apapun! Dalam berbagai hal, televisi mengaburkan realitas, sebab televisi bukan merefleksikan, namun merepresentasikan realitas. Proses representasi realitas itu kemudian menempatkan televisi sebagai pembentuk realitas baru.
Alam benda berubah menjadi bentuk dan warna-warna, manusia menjadi bentuk dan warna-warna. Bentuk dan warna-warna manusia dan alam benda ditentukan oleh sesuatu yang berada di luar keduanya, yakni segala yang berbau modernitas. Manusia, mula-mula sebagai pembentuk dan mewarnai teknologi, kini terbalik, manusia dijadikan objek, diwarnai, bahkan dibentuk oleh teknologi. Yang berperan bukan lagi rasionalitas seperti halnya cita-cita modernisme, namun sebaliknya, irasionalitas. Tak ada lagi puisi yang mengantar kita pada kebeningan. Sebab dunia sudah hiruk-pikuk oleh televisi, teknologi, dan produk kapitalisme.
Dunia dibangun melalui rangkaian tanda dan simbol. Orang miskin, orang kaya akan terlihat berbeda melalui simbol yang menempel dan dikonsumsi oleh tubuhnya. Konsumsi tak lagi berpijak pada fungsionalitas, tapi memenuhi selera hasrat. Pada level konsumsi ini terjadi pembedaan (diferensiasi) antara kaya-miskin. Mereka yang memiliki banyak uang dapat memenuhi apapun keinginan mereka, yang miskin tentu tidak.
Kekacauan lain, adalah ketika kita tak lagi percaya pada rumah dan hubungan darah. Rumah, sebagai sebentuk masa lalu dan tempat istirah dari setiap perjalanan, menjadi tempat asing yang kerap disingkiri. Kita tak lagi menemukan potret masa lalu di situ. Kita tak lagi percaya bahwa rumah adalah tempat untuk kembali. Sehingga, akhirnya kita pun tak pernah kembali sama sekali. Kita tak pernah menziarahi masa lalu. Sebab, dunia memaksa kita untuk berputar dalam logikanya.
Hubungan darah pun akhirnya adalah hal yang musykil dalam modernitas. Seorang anak dibesarkan, hanya untuk dibesarkan. Hanya itu, tak lebih. Toh, pada akhirnya ia akan mencari hidupnya sendiri dan tak akan pernah kembali. Juga ketika silsilah dan ikatan darah itu memanggil. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa rumah,—sebagai tempat kembali—adalah ruang asing bagi kita suatu ketika nanti. Ketiadaan ikatan tersebut seolah ingin mengatakan, “kita telah mengubur anak-anak kita sendiri.” Sengaja atau tidak.

Di luar hujan, dan aku tak ingin ke mana pun!

No comments:

Post a Comment

tinggalkan pesan di sini