Pages

12.13.2007

Desember dan Sebuah Pengkhianatan


“…., bukankah kita memang tak pernah benar-benar bersama siapapun?”

Meninggalkan dan ditinggalkan, mungkin sama sakitnya. Serupa kapal, orang-orang datang pergi. Membekaskan secarik kenangan yang tertinggal. Mengarungi ingatan tentang masa lalu, Rul, sama halnya memanggil kembali kapal yang telah mengangkat jangkar dalam rupa yang lain. Memanggil kembali perasaan seperti yang dialami ketika kita bersama orang lain, yang kita cintai. Di mana kita pernah membagi dan dibagi. Kadang aku tak terlalu suka dengan romantisme. Memanggil kembali perasaan masa lalu itu, bagiku sama sakitnya dengan rasa ketika aku meninggalkan, dan ketika aku ditinggalkan . “…., bukankah kita memang tak pernah benar-benar bersama siapapun?” pesanmu beberpa minggu lalu, ketika aku merasai kesepian itu.

Kau benar, Rul, hidup lengkap dengan pertemuan dan perpisahan, kebersamaan berpasangan dengan kesendirian. Maka, setiap pertemuan akan mencatatkan persitiwanya sendiri. Kisahnya sendiri. Mungkin kekal dalam ingatan, atau samar karena tumpukan banyak peristiwa lain. Aku juga baru sadar kini, kau tak salah, bahwa kita tak pernah bersama siapa pun. Bahwa kita tak pernah untuk siapa pun, kita hanya hidup untuk diri kita sendiri.

Tentang hidup. Kita hanya bisa menduga tentangnya. Menggambar peta membuat recanana-rencana, lalu menebak-nebak. Kehidupan itu sendiri yang akan menentukan, yang kadang membawa kita pada hal-hal yang tak terduga. Kita berwenang atas segala ihwal kehidupan, namun kita tak sepenuhnya punya kendali atas hidup dan segala rencana. Sama halnya dengan pertanyaan, seandainya kau dapat menawar dari rahim siapa kau terlahir, dari rahim siapakah kau minta dilahirkan kembali?

Ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab, sebab, sekali lagi kita hanya bisa menebak soal hidup. Tak pernah benar-benar bisa mengendalikannya. Kelahiran kita adala hal di luar kendali kita. Ada kadang kala yang menyesal atas hidup, kadang bersyukur, atau bahkan mengutukya. Itu lumrah. Kita mengukur hidup dengan kadar dan keberadaan kita masing-masing.

Kau mungkin tahu rasanya dikhianati oleh orang yang dulu pernah dekat dengan kita, sebagaimana pernah mengatakan kau merasa dikhianati oleh semua orang? Aku kini merasakannya, yang membuat aku hampir tak percaya pada sesiapa. Juga tentang cinta. Dikhianati ternyata sama sakitnya, bukan karena esensi khianat itu. Tapi, oleh sebab kita telah menabung banyak harapan. Dan hancurnya harapan itulah, kupikir, yang membuatku sakit. Akhirnya aku harus membuat keuputusan, aku tak akan menyandarkan diri pada apa dan siapa pun. Aku akan menyandarkan diri pada diriku sendiri. Aku akan hidup dari diriku sendiri.

091207

No comments:

Post a Comment

tinggalkan pesan di sini