Dalam konteks demokrasi, sejatinya partai politik dan media massa mempunyai peran yang saling melengkapi. Media massa bertindak sebagai kontrol atas realitas sosial politik yang disampaikan kepada masyarakat luas dalam bentuk informasi. Sedangkan partai politik menjadi institusi yang menyerap persoalan masyarakat akar rumput (grass root) untuk diselesaikan di tingkat pemerintah. Tujuan keduanya sinergis, yakni bagaimana demokrasi dijalankan dan bagaimana kesejahteraan rakyat menjadi prioritas.
Tetapi, agaknya ideal demokrasi di atas masih jauh dari kenyataan. Media massa baik cetak maupun eletronik, lebih-lebih televisi, bukan sekadar memberi informasi namun, sekaligus membentuk kesadaran dan mengkonstruksi realitas sosial. Media massa dapat menciptakan image tertentu terhadap siapa atau apa saja, seraya memobilisir kesadaran menurut yang dikehendakinya. Proses hegemoni kesadaran media massa ini tidak bisa lepas dari berbagai kepentingan.
Kepentingan-kepentingan tersebut kemudian mengalahkan ideal media massa sebagai pembentuk kesadaran kritis masyarakat. Karena media massa justru menciptakan popularitas elit penguasa tertentu. Sehingga, informasi kepada masyarakat tak lebih dari politik citra penguasa. Ketika itulah, media massa berhadapan dengan partai politik yang juga ingin mengangkat popularitas calon pemimpinnya ke pentas kekuasaan. Terjadilah perebutan wilayah hegemoni antara media massa dengan partai politik, dan partai politik adalah institusi yang kalah, karena lebih sedikit berinteraksi dengan masyarakat dibanding media massa.
Hegemoni yang dilakukan oleh media massa dan partai politik, nyatanya tidak pernah mengantarkan menuju masyarakat yang sadar politik. Bangsa Indonesia yang belum selesai belajar demokrasi itu, masih berkutat di seputar popularitas dan selebritas para elit. Lumbung kesadaran kritis masyarakat kosong karena jarang diisi, atau tidak ada yang mengisi sama sekali. Akhirnya bangsa Indonesia mengalami kekosongan masyarakat (populi vacante), di mana para elit menggiring kesadaran mereka pada politik aliran dan hubuangan kekuasaan yang tidak jelas.
Sebenarnya ada celah yang dapat dimasuki partai politik daripada ngotot bersaing dengan media massa untuk menciptakan popularitas, yakni kerja penyadaran di tingkat masyarakat bawah (grass root). Partai politik dapat mendidik masyarakat untuk sadar akan hak dan kewajibannya. Selain itu, tugas partai politik adalah menciptakan formasi sosial dengan basis organisasi yang jelas dan bervisi kerakyatan. Setelah terbentuk formasi sosial ini, nantinya akan mengarah pada terbentuknya formasi politik. Formasi politik yang berdasarkan visi kerakyatan akan tidak menempatkan masyarakat sebagai penonton, tetapi sebagai subyek atas kondisi mereka.
Ada baiknya partai politik bukan hanya kampanye janji dalam perhelatan akbar menjelang PEMILU, atau menjadi mesin politik yang cuma berbicara dari dan untuk kekuasaan. Demokrasi adalah kritisisme masyarakat, dan fungsi partai politik melakukan penyadaran kritis itu. Peran media massa dan partai politik perlu dikembalikan pada kodrat asalinya dalam konteks demokrasi. Jika kedua institusi tersebut berjalan pada fungsi kodratinya, keduanya bisa bersinergi demi menegakkan demokratisasi. Sehingga, tak tampak kesan media massa dan partai politik bersaing memperebutkan “wilayah kekuasaan”.
No comments:
Post a Comment
tinggalkan pesan di sini