--Buat: Ulum, Jober, Topo, Munif
Lalu kita bertemu di sebuah bulan yang penuh hujan. Pada sebuah hari di mana pohon-pohon dengan kerlip lampu berdiri di sudut rumah-rumah. Maaf kawan aku tak banyak mengabarkan hari-hariku yang penuh badai. Apalagi harus bercerita tentang negeri kita yang kini menyala penuh asap dan kematian. Sesungguhnya aku tak pandai menyusun cerita. Tapi, bukankah aku cukup khidmat bersama kalian?
Meski kita bertemu di ruang yang sama, gerbong sejarah tak pernah berputar di lintasan yang sama. Ada banyak hal telah berubah. Perubahan memang kepastian, tak seorang pun dapat menyangkalnya. Sejarah itu masih berlanjut kawan. Tidak seperti kata Fukuyama yang jumawa itu. Sebab, aku yakin seremeh apa pun kita masih melakukan sesuatu. Yah, setidaknya, katakanlah untuk diri kita sendiri, demi menjaga pikiran waras kita.
Saat ini memang dunia kita, orang-orang seperti kita sedang menunduk. Mungkin sedang gelisah menekuri beberapa persoalan penting di tubuhnya, sedang menghitung peruntungan nasib. Atau sedang mengobati luka yang tak kunjung kering oleh oengkhianatan. Aku tak tahu. Namun, juga ada di antara kita yang masih bekerja. Dan aku mendengar kalian juga masih bekerja untuk negeri ini.
Dan seperti biasa kalian menyusun rencana-rencana, saling menyumbang saran. Dan seperti biasa pula, aku diam mendengarkan. Seperti biasanya orang-orang yang melakukan reuni kami tak hentinya mengoceh, mulut kita tak pernah berhenti menelan asap rokok dan mengunyah makanan. Ternyata tak ada yang berubah dari kita dalam soal makanan dan rokok, tetap rakus. Ah, tidak, bukan rakus juga kalau dipikir. Makan memberi kita energi dan rokok membakar semangat. Bukan begitu?
Lalu, soal rencana. Itulah usaha untuk menjaga api harapan agar tetap menyala dalam diri kita. Tubuh boleh sirna, namun harapan jangan pernah mati. “Energi mengikuti imajinasi. Bermimpilah, sebab mimpi adalah kekuatan.” begitu salah seorang dari kawan kita sering berpesan. Dan saya kira mimpi tentang Indonesia saat maasih belm selesai. Masih ada yang tegak dari sekian banyak yang menunduk, yang pecundang, yang sakit hati. Entah saya termasuk yang mana. Yang menjaga mimpi itu atau justru menghacurkannya?
26.12.07
Lalu kita bertemu di sebuah bulan yang penuh hujan. Pada sebuah hari di mana pohon-pohon dengan kerlip lampu berdiri di sudut rumah-rumah. Maaf kawan aku tak banyak mengabarkan hari-hariku yang penuh badai. Apalagi harus bercerita tentang negeri kita yang kini menyala penuh asap dan kematian. Sesungguhnya aku tak pandai menyusun cerita. Tapi, bukankah aku cukup khidmat bersama kalian?
Meski kita bertemu di ruang yang sama, gerbong sejarah tak pernah berputar di lintasan yang sama. Ada banyak hal telah berubah. Perubahan memang kepastian, tak seorang pun dapat menyangkalnya. Sejarah itu masih berlanjut kawan. Tidak seperti kata Fukuyama yang jumawa itu. Sebab, aku yakin seremeh apa pun kita masih melakukan sesuatu. Yah, setidaknya, katakanlah untuk diri kita sendiri, demi menjaga pikiran waras kita.
Saat ini memang dunia kita, orang-orang seperti kita sedang menunduk. Mungkin sedang gelisah menekuri beberapa persoalan penting di tubuhnya, sedang menghitung peruntungan nasib. Atau sedang mengobati luka yang tak kunjung kering oleh oengkhianatan. Aku tak tahu. Namun, juga ada di antara kita yang masih bekerja. Dan aku mendengar kalian juga masih bekerja untuk negeri ini.
Dan seperti biasa kalian menyusun rencana-rencana, saling menyumbang saran. Dan seperti biasa pula, aku diam mendengarkan. Seperti biasanya orang-orang yang melakukan reuni kami tak hentinya mengoceh, mulut kita tak pernah berhenti menelan asap rokok dan mengunyah makanan. Ternyata tak ada yang berubah dari kita dalam soal makanan dan rokok, tetap rakus. Ah, tidak, bukan rakus juga kalau dipikir. Makan memberi kita energi dan rokok membakar semangat. Bukan begitu?
Lalu, soal rencana. Itulah usaha untuk menjaga api harapan agar tetap menyala dalam diri kita. Tubuh boleh sirna, namun harapan jangan pernah mati. “Energi mengikuti imajinasi. Bermimpilah, sebab mimpi adalah kekuatan.” begitu salah seorang dari kawan kita sering berpesan. Dan saya kira mimpi tentang Indonesia saat maasih belm selesai. Masih ada yang tegak dari sekian banyak yang menunduk, yang pecundang, yang sakit hati. Entah saya termasuk yang mana. Yang menjaga mimpi itu atau justru menghacurkannya?
26.12.07
No comments:
Post a Comment
tinggalkan pesan di sini