(Dari Film The New Rulers of The World, John Pilger)
Globalisasi. Trend tatanan baru dunia yang hampir setiap negara seakan tak mungkin menghindarinya. Setengah dipaksakan, gobalisasi menjadi wacana di berbagai kajian ilmiah, kemudian menyebar ke masyarakat. Para globalis, penganut paham globalisme, berpandangan bahwa globalisasi tak dapat dipungkiri, mengingat perkembangan teknologi informasi dan transportasi sudah sedemikian pesat. Atas dasar itulah, tatanan dunia global dalam bidang sosial-ekonomi dimaksudkan untuk kesejahteraan dunia secara menyeluruh tanpa batas teritorial negara.
Dalam film The New Rulers of The Wolrd, John Pilger menggambarkan banyak hal. Bukan hanya memesona melenakan. Tapi sebuah catatan kekecewaan.
Betapa globalisasi sebenarnya kepentingan korporasi perusahaan internasional untuk menguasai dunia. Hubungan antar negara dalam kerangka globalisasi adalah sesuatu yang timpang. Di mana negara-negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia, justru memberi banyak pemasukan kepada negara kaya dengan piutang dan pembelian produk mereka. Ekonomi dunia dikuasai oleh beberapa korporasi besar perushaan-perusahaan dari negara-negara maju. Perusahaan produk merek-merek terkenal seperti Nike, Adidas, GAP, Calvin Klein tersebar di berbagai belahan dunia. Upah buruh yang rendah, keamanan yang terjamin merupakan tempat yang nyaman bagi keberlangsungan perusahaan tesebut. Di tempat ini mereka mengeruk keuntungan dari hasil kerja keras para buruh. Ongkos keringat buruh tak sebanding dengan harga jual produk yang dihasilkan. Keuntungan yang diperoleh oleh kaum kapitalis adalah hasil yang dicuri dari buruh, begitu kata Marx dalam rumusan teorinya.
Akan lebih menyedihkan lagi melihat realitas kehidupan buruh perusahaan beberapa produk di atas. Perusahaan merek terkenal dunia memproduksi barang dengan upah buruh yang rendah untuk dipasarkan di negara-negara maju. Untuk mengejar target produksi, para buruh seperti kerja rodi. Mereka bisa kerja lebih dari enam jam dalam sehari. Bahkan ada yang lebih dari dua belas jam hingga dua puluh empat jam. Kondisi ini diperparah dengan kesejahteraan mereka yang tidak menjadi perhatian perusahaan. Para buruh rata-rata terpaksa tinggal di perumahan kumuh, karena gaji yang diterima tidak cukup menutup kebutuhan mereka.
Modal dan investasi menjadi hal yang sangat penting dalam perekonomian dunia saat ini. sehingga, ekonomi dunia adalah sebentuk imperium yang dikuasai oleh perusahaan yang tergabung dalam TNCs (Transnational Corporations) dan MNCs (Multi National Corporations). Modal perusahaan lintas negara bisa dengan cepat berpindah dari satu negara ke negara lain yang diinginkan. Keuntungan dari beroperasinya perusahaan lintas negara tersebut tentu hanya diperoleh segelintir orang di dunia. Para elit dunia menari di atas penderitaan jutaan buruh yang tersebar di negara-negara miskin.
Para kapitalis dunia bukan hanya mengeruk keuntungan dari keringat para buruh, mereka bahkan mampu menyetir arah kebijakan perekonomian dunia melalui lembaga-lembaga internasional. Selain berkolaborasi dengan kekuasaan negara dengan menekan negara lain melalui militer. Negara-negara yang tak cukup kuat modal sosial, modal kapital, dan militer pada akhirnya menjadi lahan bagi eksploitasi negara maju dalam mendukung laju industri. Tidak berbeda Indonesia, negara yang subur makmur dengan penduduk “ramah” tersebut, tak luput dari cengkeraman kuasa perekonomian dunia.
Indonesia menjadi negara yang strategis dengan daya dukung tenaga kerja murah dan pemerintah yang tunduk pada peraturan ekonomi politik dunia. Akhirnya, hubungan antara negara maju dengan Indonesia lebih berbentuk penjajahan model baru, atau yang seksi dengan istilah neokolonialisme. Lepasnya indonesia dari belenggu kolonial Belanda, tidak berarti lepasnya penjajahan secara ekonomi-politik. Pramoedya Ananta Toer, dalam film itu mengatakan, “Ratusan tahun lamanya Indonesia itu dihisap oleh negara-negara Utara, bukan hanya Indonesia, semua negara-negara kulit berwarna. Sehingga Barat menjadi kuat, menjadi makmur. Menguasai keuangan dan perdagangan sampai sekarang…” Apa yang dikatakan oleh Pramoedya tersebut juga akan kita temukan secara tersirat jika kita membaca salah satu novelnya, Arus Balik.
Di sini, Pramoedya tidak hanya melakukan kritik bagaimana model kolonialisme sebagaimana dilakukan kolonial Belanda, namun ia juga menyinggung IMF dan Bank Dunia sebagai salah satu instrumen penjajahan gaya baru. Pemerintah yang tak mempunyai karakter serta kedua lembaga tersebut, kata Pram, telah menciptakan Indonesia menjadi negara pengemis.
Globalisasi, yang niat awalnya ingin menghapus kemiskinan dunia, justru menjadi sebab baru kemiskinan di tingkat global. Globalisasi ekonomi menciptakan dua realitas ekstrim dunia, miskin sekali dan kaya sekali. Jurang antara kemiskinan dan kesejahteraan menjadi sangat lebar.
Peran Lembaga Ekonomi Dunia dan Rezim Suharto
Sudah disinggung di atas, bahwa globalisasi dan neokolonialisme bukan hanya direpresentasikan oleh perusahaan transnasional. Namun juga lembaga-lembaga ekonomi dunia. Lembaga-lembaga tersebut antara lain IMF (International Monetary Fund), World bank (bank dunia), dan WTO (World Trade Organization). Melalui kebijakan hutang luar negeri itulah lembaga keuangan dunia menyetir kebijakan dalam negeri suatu negara. Karena tiap klausul hutang yang diajukan suatu negara, mesti didahului penandatangan nota kesepakatan kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah atas kesepakatan dengan lembaga donor biasanya tak jauh-jauh dari kebijakan privatisasi, pengurangan subsidi sosial, dan pasar bebas. Nota kesepakatan hutang ini menjadi jalan masuk bagi negara maju untuk menguasai dunia, terutama negara berkembang yang memiliki sumber daya berlimpah. Penderitaan yang dialami oleh negara berkembang dan negara miskin bukan hanya jerat hutang, tapi lebih dari itu, pengerukan sumber daya oleh negara maju.
Lembaga donor internasional masuk ke Indonesia melalui pemerintah Suharto lewat kebijakan hutang luar negeri yang dilakukan. Hampir berbarengan dengan kebijakan hutang luar negeri, pemerintah Suharto juga membuka akses bagi masuknya modal internasional dengan kebijakan penanaman modal asing. Mulailah pihak asing mencengkeramkan (kembali) kekuasaannya di Indonesia.
Pemerintahan Suharto membangun rezimnya dengan darah pada pembunuhan massal yang dilakukan terhadap orang-orang yang dianggap komunis. Kontra revolusi yang dilakukan oleh Suharto dengan kudeta militernya justru mendapat dukungan dari luar negeri, terutama Inggris dan Amerika. Dengan bantuan badan inteligen dunia, Angkatan Darat menggulingkan pemerintahan Sukarno yang lebih cenderung sosialis. Dalam perjalanannya kemudian, Pemerintah Suharto menjadi komprador bagi kepentingan modal internasional.
Pembantaian massal yang dilakukan oleh Suharto untuk naik ke pentas kekuasaan merupakan kejahatan kemanusiaan tersebar kedua setelah Nazi. Toh, negara maju ysng diwakili oleh Amerika Serikat dan Inggris menutup mata terhadap peristiwa tersebut. Bahkan, mereka, negara maju tersebut, memuji keberhasilan ekononomi pemerintah Suharto. Kepentingan ekonomi dan bisnis mengalahkan kemanusiawian.
Akan tetapi, bagaimanapun, globalisasi juga mendapat banyak tentangan dari berbagai belahan dunia. Aktivis anti globalisasi melakukan protes terhadap kebijakan dan hubungan dunia yang timpang ini. Misalnya peristiwa Seattle yang merupakan peristiwa terbesar dan titik penting bagi gerakan penentang globalisasi. Persoalan yang diakibatkan globalisasi perlu disikapi secara bersama secara global pula. Tatanan dunia perlu dibentuk ulang, selain juga hubungan antara negara negara miskin dan negara maju. Mugkin kita masih bisa membangun tatanan dunia yang lebih adil di luar kerangka globalisasi kapitalisme liberal.[ ]
baguzz tuh filemnya john pilger.>>>>
ReplyDelete