Tiap kali mendengar kata pahlawan, dalam pikiran kanak saya dulu, membayang gambar Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Sam Ratulangi, dan pahlawan lain. Juga para pahlawan yang dikenal dengan Pahlawan Revolusi itu. Gambar para pahlawan itu terpajang dalam poster besar di dinding belakang ruang kelas. Waktu itu tidak terbayang sedikit pun tentang, misalnya Tan Malaka, atau Syahrir. Saya tidak mengenal mereka dalam pelajaran sejarah. Juga tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kini setelah saya lepas dari pelajaran sekolah saya, saya mulai tahu. Sejarah dan ilmu pengetahuan yang saya peroleh adalah konstruksi.
Ada yang menghendaki agar saya tidak mengenal Tan Malaka dan/atau Pram. Dua tokoh yang kini saya kagumi. Ada jaring-jaring kekuasaan yang membuat bagaimana seorang tokoh disebut pahlawan dan bukan pahlawan. Atau juga kekuasaan untuk membuat bagaimana sejarah serta apa yang benar dan yang keliru direpresentasikan. Tentu saja, yang dilakukan oleh mereka yang berkepentingan dengan mudah menyusup ke balik kesadaran saya. Mudah membentuk kesadaran kanak saya. Di luar itu, setiap 30 September saya juga disuguhi tontonan film menarik. Film tentang sebuah gerakan pemberontakan yang diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Masih terngiang kalimat, “Darah itu merah jendral!” Lalu masih terbayang juga sayatan-sayatan silet, darah, dan orang-orang yang dijungkalkan ke Lubang Buaya. Pikiran kanak saya kemudian mengatakan bahwa PKI itu kejam, tidak bertuhan, suka menyiksa, dan pikiran-pikiran buruk lainnya. Ini membentuk kesadaran saya untuk memandang dunia secara hitam putih. Bahwa Pangeran Ahmad Yani itu pahlawan dan Semaun itu penghianat.
Ternyata dunia tidak selama seperti pemahaman awal saya. Pengetahuan masa kanak saya. Dunia dan kesadaran terbentuk oleh konstruksi. Kesadaran dan pengetahuan saya dibentuk oleh mereka yang mempunyai kekuasaan dan pengetahuan atas saya. Begitu pula dengan siapa yang pahlawan dan yang bukan pahlawan. Gelar kepahlawanan pun merupakan konstruksi sosial.
Bagi saya saat ini, yang pahlawan adalah mereka yang punya semangat. Mereka yang tulus berkorban untuk manusia lain. Mereka yang memberikan “sesuatu” yang bermakna kepada manusia lain. Mesti tanpa ada embel-embel kata “pahlawan” di depan atau belakang nama mereka. Dan jika ditanya siapa yang pahlawan bagi saya, saya akan menjawab ibu, baru yang lain. Bukan presiden mana pun, bukan Nabi Muhammad, bukan menteri. Walaupun tetap saja hingga saat ini saya menjadi anak yang tak pernah patuh. Selalu berhianat atas cinta yang diberikan ibu.
Sebenarnya banyak pahlawan di sekitar kita. Petani, tukang rosok, para pemulung, para nelayan, buruh, giri ngaji di kampung, dan lain-lain. Kadang orang-orang seperti ini malah jauh dari gemerlap sebutan pahlawan. Mereka jauh dari ketenaran. Namun dalam diri mereka mengalir keikhlasan untuk berbuat baik bagi orang lain. Dan saya masih percaya merekalah pahlawan yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment
tinggalkan pesan di sini