Pages

9.11.2008

Media Massa: Hegemoni dan Demokratisasi

Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang murni, yang bebas kepentingan. Begitu pula media massa. Ia tak lepas dari kepentingan manusia. Media massa, dengan teks, gambar, serta berbagai simbol lain kemudian menjadi teror yang menyusup di balik kesadaran manusia. Ia bisa menjadi sebentuk teror yang baik, mencerahkan, serta mencerdaskan. Sebaliknya, media massa juga bisa menjadi mimpi buruk. Menjadi teror kesadaran, lalu menggiring kesadaran kita pada apa yang dikehendaki media.

Media massa menjalankan peran dan fungsinya seperti halnya institusi agama, pendidikan, kebudayaan, dan seni secara yang ideologis dan hegemonis menggiring kepatuhan masyarakat pada kekuasaan. Melihat hal tersebut Gramsci menilai bahwa media massa merupakan perangkat hegemoni penguasa. Lain halnya dengan Loius Althuser, yang menganggap media massa sebagai Idelogical State Aparatus. Media massa menjadi aparatus ideologi yang mendukung penguasa serta menjadi alat legitimasi kebijakan penguasa.

Mengingat pada zaman Orde Baru beberapa tahun ke belakang, kita akan menemukan bagaimana media mendukung kekuasaan pemerintah. Kita ambil misal, televisi yang dikuasai televisi pemerintah (dalam hal ini TVRI). Di ranah media cetak, pemerintah dengan berbagai peraturannya membredel media yang berseberangan dengan pemerintah. Juga poster, atau pamflet, bahkan grafiti sekalipun, yang bernada mengancam pemerintah akan segera ditindak. Apa yang mereka tulis atau mereka gambar dianggap menganggu stabilitas atau tindakan subversif.

Selain sebagai alat hegemoni, di mana penguasa merepresentasikan kekuasaannya, media massa juga menjadi medan di mana resistensi terhadap kekuasaan dimunculkan. Media massa adalah medan pertarungan antara yang penguasa dan yang dikuasai. Meskipun media massa merupakan alat hegemoni negara, namun masyarakat toh mampu menyusupkan ide mereka ke dalam media massa. Terutama melalui tulisan dan gambar di media-media cetak. Dengan cara yang lebih halus tentunya, resistensi mereka terhadap rezim juga menjadi tidak kentara. Dengan cara yang halus itu pula mereka melakukan penyemaian gagasan ke masyarakat luas.

Di negara-negara yang mendasarkan diri pada konsep demokrasi modern, tidak dapat dipungkiri, media massa berperan penting dalam membangun proses politik masyarakatnya. Media massa seperti, koran, televisi, atau informasi dan wacana yang berkembang di internet, kerap disebut sebagai salah satu pilar demokrasi. Karena peran media yang menyampaikan informasi kepada publik. Tetapi pada realitasnya, saat ini peran media massa tak jarang justru menjadi bias. Karena apa yang disuguhkan oleh media massa itu pun sarat dengan kepentingan. Media massa tidak selamanya ”jujur”, tapi mengandung pesan tertentu.
Realitas dalam media massa sesungguhnya adalah realitas yang semu. Realitas fiktif. Realitas semu inilah yang kemudian digunakan untuk menggiring masyarakat pada image tertentu. Realitas ini, dalam pandangan Baudrillard adalah realitas yang melampaui dirinya sendiri. ”Hari ini realitas itu sendiri adalah hiperrealitas”, begitu ia menyebut. (Ritzer: 2003: 163). Realitas baru yang disuguhkan media tersebut, yang dimuati kepentingan itulah yang menjadi masalah. Realitas media massa muncul dalam bentuk mimpi dan fiksi. Surat kabar, majalah, dan televisi menciptakan peristiwa, menafsirkannya, dan mengarahkan terbentuknya kebenaran.

Hegemoni Media dan Resistensi Terhadap Kekuasaan
Di awal telah disinggung sedikit tentang bagaimana media massa menjadi alat penguasa. Hal tersebut akan ampak jelas pada sistem negara yang otoritarian. Kita bisa berkaca pada Orde Baru di mana segala sesuatu dikendalikan oleh penguasa. Kontrol yang ketat terhadap pemberitaan media massa menggiring keadaran masyarakat pada ketertundukan pada penguasa. Wacana yang berkembang di masyarakat pun mengarah pada apa yang dikehendaki oleh penguasa.

Adalaah Antonio Gramsci (1891–1937) yang menggagas teori hegemoni. Gramsci adalah seorang Marxian yang menjadi politikus Italia, yang sekaligus aktivis. Gramsci mendirikan Partai Komunis Italia, kemudian dipenjara ketika kaum Fasis menyerang tahun 1924, kemudian meninggal. Ketika dalam masa tahanan itulah ia menuliskan pemikirannya dalam bentuk catatan yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Selection FromPrison Notebooks (1947).

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, egemonia, yang artinya penguasa atau pemimpin. Dalam pengertian yang ringkas, hegemoni dapat diartikan sebagai sistem kekuasaan atau politik kelas dominan untuk menguasai kelas di bawahnya dengan menggunakan kekuasaan itu. Dalam pengertian Marxisme, hegemoni berarti terjadi dominasi kelas berkuasa terhadap kelas bawah. Mereka yang masuk dalam kelas berkuasa adalah mereka yang menguasai ekonomi. Kelas borjuis mengatasi kelas proletar.

Tradisi marxisme, yang mempersoalkan hubungan borjuis-proletar, kemudian diturunkan oleh Gramsci ke berbagai persoalan sosial yang lain. Bukan hanya relasi politis antara majikan dan buruh, namun juga berbagai relasi sosial lain. Misalnya, gender, agama, ras, dan relasi antar kelompok sosial itu sendiri. Hegemoni bukan hanya beroperasinya dominasi lewat kekuatan politik, namun juga merupakan bentuk kepemimpinan intelektual dan moral. Apa yang menjadi wacana penguasa kemudian diikuti oleh masyarakat luas.

Lalu, bagaimana media massa melakukan ”tugas”-nya? Dapat dijelaskan dengan singkat dan seperti ini. Kita mungkin pernah melihat spanduk di perempatan jalan yang berbunyi, ”Awas bahaya laten komunisme!” Ini merupakan contoh kecil bagaimana penggunaan sebuah frasa atau (bahkan) kalimat digunakan untuk menggiring opini masyarakat. Penguasa menyampaikan pesan mereka melalui bahasa. Kemudian, (sengaja atau tidak) apa yang ditangkap oleh masyarakat tersebut menjadi wacana. Tentunya juga didukung dengan penggunaan media lain sebagai penyampai pesan.

Pembentukan opini masyarakat oleh media, menunjukkan bahwa wacana merupakan (alat) kekuasaan. Wacana mampu mengukuhkan kekuasaan elit tertentu. Meskipun dalam contoh ini tidak hanya dilakukan penguasa, dalam hal ini misalnya pemerintah, yang melakukan proses hegemoni. Namun setidaknya begitulah model pembentukan opini masyarakat. Penguasa melakukan penyebaran wacana melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, bahkan hingga spanduk dengan opini penguasa. Tema tulisan atau gambar dalam media massa, menjadi hal yang mudah untuk kita indentifikasi ke arah mana opini masyarakat digiring.

Dalam ranah kekuasaan, dominasi penguasa dilakukan melalui dua cara, yakni penguasaan politis melalui militer dan berbagai kebijakan yang diterapkan, serta penguasaan wacana di media massa. Dominasi kekuasaan politik atau militer dikombinasikan dengan opini publik serta penerimaan publik terhadap kebijakan hegemonis tersebut. Sehingga, antara kekuatan dominasi dan penerimaan publik berjalan seimbang. Akibat dari hal ini, masyarakat menjadi ”mayoritas yang diam” (silent majority). Masyarakat menjadi pasif dan menerima apa-apa yang dilakukan atau pun dikatakan oleh penguasa.

Akan tetapi, kita juga tidak dapat memungkiri resistensi terhadap kekuasaan tersebut, yang justru juga dilakukan melalui media massa. Media massa menjadi medan pertarungan di mana resistensi dan dominasi berlangsung. Munculnya media massa alternatif, seperti buletin komunitas, selebaran, dan media massa lokal menjadi contoh menarik ketika media massa pada umumnya berada tunduk di bawah dominasi kekuasaan. Media massa aternatif merupakan siasat untuk memunculkan wacana tandingan terhadap wacana penguasa dan masyarakat umum.

Sebagai media tandingan, media massa memunculkan wacana yang berbeda dengan apa yang menjadi wacana penguasa. Mereka berusaha menghasilkan wacana yang lain. Misalnya, ketika pada umumnya media massa memunculkan kebaikan penguasa, maka media massa tandingan mengungkap sesuatu yang tidak terdapat di dalam media massa umum (mainstream mass media).

Konstruksi Realitas dalam Politik
Realitas dalam media massa sebenarnya adalah realitas yang dimunculkan. Realitas buatan yang disuguhkan ke khalayak ramai. Di sinilah persoalannya. Media massa tidak merepresentasikan yang nyata di masyarakat, tapi sesuatu yang dibuat dengan dasar berbagai kepentingan tertentu. Kalau dihubungkan dengan dunia politik, realitas yang dimunculkan oleh media massa digunakan untuk kepentingan politis. Apakah politik untuk meneguhkan jabatan, politik agar pemerintah atau tokoh tertentu mempunyai image baik, dan lain sebagainya.

Media massa bisa menampilkan citra tertentu terhadap mereka yang dikehendakinya. Efek citraan masyarakat terhadap seorang tokoh, misalnya Susilo Bambang Yudhoyono, karena ia sering muncul di media, bisa dianggap sebagai rekayasa citra. Juga kepemimpinan SBY setelah ia menjabat sebagai presiden. Kita tahu, di televisi sosok SBY nampak lebih gagah dibanding yang lain, misalnya pada saat acara Debat Kandidat atau acara lain. Dari ”citra” luar SBY, yang gagah, yang tampak kharismatik, yang tampak bijaksana, yang terlihat tenang, akan membentuk opini ”citra dalam” SBY. Prasangka awal rakyat melihat sosok SBY di media massa bahwa SBY adalah orang yang bijaksana, berbeda dari yang lain, kebijakannya populis dan lain sebagainya.

Persoalannya, ketika berhadapan dengan bertebarannya citra tokoh yang demikian, adalah sejauh mana masyarakat kita sadar akan politik. Fenomena banyaknya artis yang kemudian dijadikan modal berpolitik adalah hubungan yang kentara antara dunia citra dan kesadaran berpolitik masyarakat kita. Persoalan ini memang rumit. Di satu sisi masyarakat Indonesia baru saja menemukan kesadaran politik pasca runtuhnya Orde Baru. Masyarakat kita baru akan belajar berdemokrasi. Tapi, dengan berbagai kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, dunia citra juga menyerbu benak masyarakat kita.

Perlu adanya penyeimbang atas realitas dunia citra tersebut yakni kesadaran massa. Dan sejatinya demokrasi adalah upaya untuk menciptakan kesadaran massa tersebut. Menciptakan masyarakat yang sadar dan kritis adalah agenda dari demokratisasi. Bukan hanya jalan menuju kekuasaan. Dan media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, sudah semestinya kalau mendukung agenda demokratisasi tersebut. Bukan sekadar berperan sebagai institusi pengeruk keuntungan dari tayangan dan muatan media itu.

Selain itu, dalam hal demokrasi, kita juga mesti percaya bahwa masyarakat saat ini lebih ”cerdas” dengan pengalaman mereka sehari-hari. Masyarakat kita tampaknya sudah jengah dengan karakter dan perilaku kekuasaan baik di pusat maupun lokal.

Kalau kita masih percaya media massa sebagai pembentuk kesadaran massa, bukan hanya melihat dari sisi buruknya, saya kira masih ada ”sesuatu” yang diberikan media massa selain pesan hegemonis. Namun, memang kita perli menyebarkan wacana-wacana kritis terhadap kondisi yang ada di sekitar kita. Zaman keterbukaan seperti sekarang ini—saya belum menganggap ekstase komunikasi--, memudahkan kita untuk saling bertukar pikiran dan menyebarkan gagasan kritis.

Asalkan liberalisasi media massa dan kebebasan berpendapat bukan untuk dimaknai sebagai berbuat sesukanya. Liberalisasi media massa bukan kebebasan yang vulgar. Liberalisasi media massa, adalah penciptaan kritisisme dan atmosfer yang kondusif untuk demokratisasi. Bebas dari ketakutan untuk berpendapat, bebas menyatakan sesuatu yang benar, dan bebas meneriakkan kebenaran.

Bahan Pustaka
Ritzer, George. Teori Sosial Posmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
Piliang, Yasraf Amir. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/pemilu-dan-hegemoni-media

1 comment:

  1. harus ada penyeimbang informasi dari media massa yang ada sekarang ini, soalnya saya melihat media yang ada sekarang ini seolah-olah memiliki sumber dan rujukan informasi yang tidak jauh berbeda dan ada kemungkinan mereka terjebak dalam bisnis informasi yang akhirnya sangat merugikan masyarakat

    ReplyDelete

tinggalkan pesan di sini