Pages

6.03.2008

Jakarta, Aku Tak Jadi Pulang Malam Ini

Rasanya aku ingin pulang, sebab tak ada lagi yang kukerjakan. Tapi, diriku yang lain mencegahnya. 

Jakarta. Telah kuhabiskan dua malam di kota ini. Rencananya aku ingin pulang malam ini. Tapi malas juga kalau pulang sendirian. Lagi pula aku tak punya tanggungan lagi di jogja. Urusan kuliah sudah selesai. Sekarang musim liburan. Akhirnya aku tidak jadi pulang malam ini.

Kuhirup udara Jakarta pagi itu, setelah semalaman di kereta ekonomi yang sesak. Dari jendela jendela kereta yang kutumpangi pandanganku membentur rumah-rumah tenda menempel di dinding. Rumah dari plastik, kardus, atau kain yang dipasang sekadarnya. Di dalamnya, kulihat sebagian pemiliknya masih terlentang tidur. Sebagian yang lain sedang mencuci peralatan masak. Ada juga yang duduk berlutut berbalut sarung. Aku baru menyadari, kehidupan Jakarta yang biasanya elok di layar televisi, memiliki wajah yang lain. Juga cerita tentang rumah kardus yang kubaca atau kudengar dari teman benar-benar nyata.
Betapa kompleksnya jakarta. Sebagian hidup di rumah tenda dan sebagian yang lain, tentunya mereka yang “berhasil”, hidup di perumahan-perumahan elit. Aku sendiri merasakan hal aneh ketika memasuki Jakarta. Memasuki Jakarta rasanya memasuki hutan yang buas. Ditambah cerita teman-teman yang pernah hidup di jakarta lalu kabur karena tidak kuat biaya hidupnya. “Di Jakarta itu gampang cari duit, tapi juga gampang membuangnya.” kata sebagian dari teman-temanku. Sebagai “hutan belantara”, Jakarta tentu menawarkan banyak hal. Namun, hal yang pasti adalah soal pertarungan hidup. Soal kalah dan menang. Siapa yang kalah dalam pertarungan hidup, ia akan menyingkir. Pulang. Atau bertahan dengan menyedihkan. Tinggal di bawah jembatan, rumah-rumah kardus, atau tinggal di gerbong-gerbong kereta yang tidak dipakai lagi.

“Hutan belantara” Jakarta mengingatkan pada survival of the fittest. Ada hukum pasti di dalamnya, siapa yang mampu bertahan hidup ia akan berkembang dan meneruskan kehidupannya. Sedangkan mereka yang tidak, akan punah. Dan tinggallah individu yang berkualitas. Evolusi sosial, yang kemudian dikenal dengan istilah Darwinisme Sosial tersebut dikembangkan dari teori evolusi makhluk hidup, yang digagas oleh Charles Darwin.

Akan tetapi makhluk yang bernama manusia itu, ketika tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak semudah itu punah. Sehingga, tidak juga segera tersisa individu yang berkualitas sebagaimana dikehendaki Darwinisme Sosial. Mereka tetap hidup, atau setidaknya mencoba bertahan hidup. Dan ini yang sebenarnya menjadi masalah. Mereka yang tersingkirkan dari pertarungan hidup di jakarta, atau kota lain umumnya, tidak juga mati. Menjadi kelompok-kelompok yang sakit secara sosial. Menjadi pengemis, pemulung, pengamen, pengagguran, anak jalanan, dan lain sebagainya.

Memang pembangunan yang terpusat di kota besar, seperti Jakarta, menimbulkan efek yang juga kompleks. Baik positif maupun negatif. Mereka, yang tinggal di kampung-kapung udik itu datang ke Jakarta untuk berbagai hal. Mulai dari mengubah perekonomian, hingga ingin menjadi artis “idol”. Jakarta mungkin seperti gula yang mendatangkan banyak semut. Kota yang (seolah) memberi banyak harapan. Kota yang memiliki mobilitas sosial lebih tinggi dibading kota yang lain, apalagi desa. Barangkali alasan itulah yang memicu beberapa pemuda dari kampung saya datang ke Jakarta. Mereka datang karena alasan ekonomi.

Persoalannya tidak berhenti di situ. Karena pembangunan di negeri ini ternyata timpang antara-desa. Bahkan, ada dikotomi antara keduanya dan stereotipe yang berkembang bahwa kota lebih modern, lebih baik, lebih di atas desa serta lebih yang lain.
Yah, begitulah. Dan mungkin aku akan pulan esok hari.

1 comment:

  1. kOjjEkE9.8.08

    ting.... eling karo seng neng omah...
    ojo mung nuruti nepsune dhewe...


    kekekek

    ReplyDelete

tinggalkan pesan di sini