Jika saat ini kita bisa menikmati udara dengan bebas dan gratis, mungkin tidak untuk beberapa abad mendatang. Saat ini air sudah diprivatisasi dan menjadi barang komoditas. Dipajang di rak-rak toko dan supermarket. Menyusul air, bukan tidak mungkin udara juga akan diprivatisasi atau menjadi barang komoditas. Perang manusia dalam beberapa abad mendatang adalah perang perebutan sumber daya alam.
Inilah zaman yang membalik semua logika. Air yang seharusnnya milik publik, diprivatkan, sehingga tidak setiap orang bisa mengakses. Sebaliknya, wilayah privat, semisal seks dan urusan rumah tangga, didedahkan kepada publik dalam berbagai bentuk. Ini zamannya pasar, bung! Segala sesuatu musti dikomersialkan.
Belum lagi kondisi air yang semakin kritis. Lebih dari 40 persen penduduk bumi menderita kekuranngan air. Krisis air tanah diakibatkan penggundulan hutan oleh pembalak liar dan pemerintah yang mengejar devisa. Selain juga pengaruh konversi lahan menjadi perumahan dan industri. Bayangkan saja, tahun 1998 hingga 2005 hutan ditebang rata-rata 3 juta hektar per tahun. Penebangan hutan ini tentu mengurangi fungsinya dalam siklus hidrologis. Kondisi kelangkaan air ini diperparah lagi dengan pencemaran sungai di Indonesia. Hampir 60 persen sungai di Indonesia, di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan sulawesi tercemar limbah organik hingga bakteri penyebab diare (Kompas, 14 Mei 2007).
Ketegangan negara utara dan selatan bukan hanya ketegangan negara pusat dan pinggiran. Lebih dari itu, negara utara dan barat berperan besar menjadi penyebab pemanasan global. Proses industri dan pola konsumsi mereka, turut menyumbangkan emisi gas rumah kaca. Dan Amerika Serikat adalah pemasok emisi gas rumah kaca tertinggi, mencapai empat hingga lima kali rata-rata emisi dunia (Kompas, 25 Oktober 2007). Pemanasan global merupakan ancaman bagi umat maanusia. Naiknya suhu bumi mengakibatkan naiknya air laut dan mencairnya dataran salju.
Masyarakat di pedesaan, yang hidupnya mengandalkan sektor pertanian nantinya harus beralih ke sektor lain, karena kekeringan. Menjadi kuli bangunan atau buruh pabrik yang belum tentu terjamin kesejahteraannya. Hal ini akan menambah daftar penderitaan mereka. Apalagi persoalan daya tampung dan lapangan pekerjaan yang belum tentu mendukung. Mereka yang mempunyai modal keterampilan dan finansial akan bertahan, yang tidak, akan jadi gelandangan.
Kelak, manusia akan berebut sumber daya alam karena diprivatisasi dan komodifikasi. Perang, pada masanya nanti dipicu sumber daya alam. Juga gundukan salju akan mencair dan air laut naik karena pemanasan global. Daratan semakin sempit, akhirnya tenggelam sama sekali. Sungguh, akhir kehidupan yang celaka!
Kelak, manusia akan berebut sumber daya alam karena diprivatisasi dan komodifikasi. Perang, pada masanya nanti dipicu sumber daya alam. Juga gundukan salju akan mencair dan air laut naik karena pemanasan global. Daratan semakin sempit, akhirnya tenggelam sama sekali. Sungguh, akhir kehidupan yang celaka!
Sementara daya dukung lingkungan bagi kelangsungan hidup manusia semakin menurun. Ketika alam mulai menampakkan keletihannya, kesadaran manusia tentang lingkungan turut menguap. Manusia terus-menerus mengeksploitasi sambil membuang limbah ke alam. Modernitas yang membawa serta rasionalisme, berhenti pada perilaku pragmatis manusia. Demi mencukupi kebutuhannya. Membela kepentingan ekonomi di atas kepentingan-kepentingan lain. Manusia melakukan eksploitasi sumber daya alam, sekaligus meminggirkan nilai-nilai kehidupan. Termasuk ekologis.
Dalam pandangan teori kritis, kesadaran perilaku manusia yang seperti ini didominasi rasio instrumental. Perkembangan masyarakat modern yang didominasi rasio instrumental telah menjadi penyakit baru. Masyarakat modern menganggap alam disediakan sebagai potensi untuk ditundukkan dan dikuasai (Adian, 2005: 54). Sekali lagi, semata demi memuaskan keserakahan manusia.
Kepercayaan masyarakat pada roh yang bersemayam di pohon-pohon, hangus oleh demitologisasi pasca pencerahan. Padahal, kepercayaan masyarakat ini sejatinya merupakan kearifan pada alam. Mereka, yang sebagian besar hidupnya secara langsung bergantung pada alam, begitu menghormati alam. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa tanpa alam mereka tak akan bisa hidup.
Lalu? Kita nampaknya butuh untuk menemukan (kembali) kearifan masa lalu. Kearifan ekologis; bahwa manusia tergantung dan bagian penuh dari alam. Bahwa manusia dan lingkungan sebenarnya padu. Kini, ketika pola produksi tidak lagi langsung bergantung pada alam, manusia lupa kearifan itu: hubungan manusia dan lingkungannya.
Tata hubungan yang timpang antara manusia dengan lingkungan sebagai penyangga hidup, disebabkan perasaan unggul ras manusia dibanding makhluk lain. Dibanding pohonnan, batuan, tanah, air, udara, dan lain sebagainya. Karena manusia memiliki akal. Seharusnya, akal tidak meminggirkan budi sebagai kontrol perilaku. Ini yang mesti (kembali) kita temukan. Dimensi etis manusia.
Mengutip Wiwik Sudiati dalam Koran Tempo, 25 Nopember 2007, semestinya sains dan teknologi juga berwawasan ekologis. Sehingga ketika diterapkan harus didasarkan pada spirit untuk menjaga keseimbangan alam. Kita perlu menempatkan sumber daya alam bukan semata sebagai obyek pemenuh kebutuhan. Namun subyek yang hidup, dan semestinya dihidupi. Di sinilah keseimbangan itu nyata ditemukan. Antara manusia, alam, dan masa depan keduanya.
Maraknya industrialisasi, perkembangan kapitalisme, pola konsumsi, telah berperan besar dalam perusakan lingkungan. Celakanya, manusia baru sadar ketika sudah kena getahnya. Kala alam benar-benar berada di pintu kehancuran. Ketika itu baru manusia berteriak ramai-ramai, “alam mesti diselamatkan!” Demi keberlanjutan alam itu sendiri dan kelangsungan hidup kita, manusia, selanjutnya, mari merenung dan beraksi!
No comments:
Post a Comment
tinggalkan pesan di sini