Catatan dari Lenteng 1:
Di sini rasanya saya merasa jauh dari Indonesia. Bukan karena saya berada di luar negeri. Tidak. Sama sekali tidak. Saya berada di luar pulau jawa. Di sini, saya merasa saya tidak begitu memahami Indonesia. Saya baru sadar, Indonesia yang selama ini saya pahami hanya seluas hamparan rumput di depan rumah saya. Atau jarak terjauh, sebatas propinsi yang selama ini saya tinggali, Yogyakarta.
Saat ini saya berada di sebuah kabupaten paling timur di Pulau Madura, Sumenep, dalam rangka penelitian, survey pendidikan dan kesehatan. Saya harus mendatangi rumah warga untuk wawancara, sekolah, dan fasilitas pemerintah yang lain. Saya ingin menceritakan peristiwa perjalanan saya, bukan deskripsi teoritis maupun analitis mengenai penelitian itu. Terlalu rumit (atau saya yang barangkali tidak paham? Boleh kalau disangka begitu).
Hari pertama saya penelitian, saya mengunjungi rumah kades sebuah desa di Kecamatan Lenteng. Itulah pertama kali saya bersentuhan dengan budaya dan masyarakat Madura secara langsung. Saya sudah bertanya ke sana-kemari di mana rumah pak kepala desa, tak juga ketemu (ternyata istilah untuk kades: kalebun). Akhirnya ketemu juga setelah bolak-balik di jalan yang sama.sepulang dari rumah pak lurah, saya di antar kepala dusun untuk mengunjungi warga. Saya menemukan daerah yang saya kunjungi seperti lanskap alam gunung kidul. Naik turun bukit, tanah merah kecoklatan, lahan-lahan yang kering, dan udara yang panas menyengat.
Satu reponden saya ketemu. Urusan selesai? Tidak. Tidak berhenti di situ masalahnya. Yang harus saya wawancarai ternyata tidak bisa berbahasa Indonesia. Dia hanya diam ketika saya tanya, dan lebih parah lagi saya tidak bisa banyak berbahasa Madura. Apakah saya harus menanyainya dengan kata de’rema, satu kata yang saya hapal sejak di Jogja? Enggak to?! Tentu saja tidak. Untung ada pak apel (istilah untuk kadus) yang bisa menterjemahkan kalimat pertanyaan saya kepada responden. Masalah berkurang. Untung ada pak apel.
Tapi persoalan bahasa tidak berhenti di situ. Setiap saya bertanya kepada orang yang saya temui di jalan di mana rumah responden yang saya sebutkan, mereka menjawab dengan bahasa Madura. Aduh!? Untuk bertanya di mana rumahnya si anu, saya masih bisa. Tapi untuk menangkap maksud orang yang saya tanyai, tentu saja saya kurang paham. Apalagi ia menjawab pertanyaan saya dengan jawaban panjang-panjang. Akhirnya saya hanya melihat ke mana arah ibu jarinya. Baru berkata “Ke sana pak?”
Setelah itu buru-buru saya pamit sebelum pertanyaan balik dari orang yang saya tanya (Lha saya nggak ngerti je). Takut kalau ditanya macam-macam, dan saya hanya bisa melongo. Tidak persis seperti orang bego, tapi benar-benar bego!
Untuk urusan tersesat, saya dan teman saya udah lebih dari sering. Dalam sehari kami bisa lima kali tersesat. Muter di jalan yang sama berkali-kali kayak setrika. Udah Tanya sama ornag masih juga kesasar. Emang dasar saya yang goblok sih.. he he.
Sepanjang perjalanan saya melihat bukit-bukit telanjang. Hanya tumbuhan perdu menutupi permukaannya. Itupun hanya sebagian. Sebagian lagi terpampang tanah merah yang menyilaukan ketika siang terik. Banyak lagi keanehan yang saya rasakan. Dalam perjalanan ke salah satu dusun, di sebuah tikungan jalan yang saya lalui ada sebuah gedung sekolah dasar berukuran 6 kali 7 meter. Hanya ada satu pintu. Saya berpikir mungkin itu hanya untuk satu kelas. Tapi di mana kelas atau ruangan yang lain? Saya tidak menemukannya. Sepanjang perjalanan di sekitar gedung itu tidak ada gedung yang lain. Di sisinya terhampar lahan yang kering, gundul, sebelahnya lagi perumahan warga yang juga jarang-jarang. Aku tak bisa membayangkan bagaimana proses belajar mengajarnya, di mana ruang gurunya, ruang tata usaha, dan satu lagi jangan lupa, akan dibuang ke mana kalau kebelet. Di sawah?
Saya merasa jauh dari Indonesia. Saya merasa hanya sejengkal tanah yang saya pahami tentang negeri ini.
20 Oktober 2009
tersesat?
ReplyDelete