Pages

2.20.2009

Nyaleg

Kita sedang menunggu kiprah mereka, yang memasang gambar wajahnya di ruang-ruang publik. Ya, menjelang Pemilu tahun ini banyak wajah terpampang di banyak tempat. Di sepanjang jalan, yang sepi maupun yang ramai, di perempatan, pasar, dan tempat umum lainnya. Apakah ini demokrasi? Kita tak bisa langsung menjawab. Ini pertanyaan serius. Demokrasi, tentu saja, tidak ditentukan oleh gambar. Demokrasi adalah kecerdasan untuk menilai. Demokrasi adalah kecerdasan untuk berpihak, kepada kebenaran. Demokrasi adalah kearifan untuk membawa mereka yang masih berada di bawah selimut kegelapan ke ruang yang lebih cerah.

Memang, tampak banyak yang tak beres dalam demokrasi kita. Dalam banyak hal, dan oleh banyak orang, demokrasi dimaknai sebagai ritual tiap beberapa tahun sekali untuk memilih. Memilih orang-orang yang terus-menerus berkutat di seputar kekuasaan. Di sepanjang sejarah. Yang sering membawa kata “rakyat”, tanpa paham apa dan siapa mereka. Apalagi memperjuangkan hak-hak mereka. Ini barangkali mengingatkan kita kepada Marx, bahwa negara dan sistim negara diciptakan untuk kepentingan kelas penguasa.

Politik negeri ini memang tak jauh-jauh dari apa yang diungkapkan oleh Marx. Sekelompok kecil kaum kaya negeri ini lebih banyak menguasai akses sumber daya dari pada yang lebih miskin, atau sangat miskin. Bukan kaum kaya dalam negeri saja, tak ketinggalan juga kelas borjuis internasional. Ada kecenderungan dari kelompok ini untuk menghamba pada paham rakus, kapitalisme. Maka, tak ayal lagi, mereka terus melakukan eksploitasi pada tanah dan air. Bahkan mungkin juga manusianya.

Lalu, di mana rakyat yang mereka sering bawa-bawa. Mungkin saja rakyat, bagi kelompok ini adalah bumbu penyedap. Ibarat masakan tanpa penyedap, tak akan lengkap rasanya. Namun tak ada juga sebenarnya tak masalah.

Jika sudah begini, jangan heran jika terjadi ketidakpercayaan rakyat pada negara dan sistim negara. Jika kondisi ketidakpercayaan ini berlangsung sehat, tentunya menjadi baik. Namun, bila tidak, yang terjadi sebaliknya. Masyarakat akan pragmatis. Beberapa bulan lalu, pada pemilihan kepada daerah di Jawa Tengah, beberapa penduduk dusun saya mengaku mereka sudah cerdas: tidak akan memilih calon yang tidak ngasih duit. Kecerdasan yang ironis, yang terciptakan akibat sistim demokrasi yang tidak sehat.

Partai politik, semestinya bukan hanya memasang bendera di kala menjelang Pemilu. Atau juga memasang gambar para calegnya. Atau, tidak membentuk masyarakat seperti pada masyarakat dusun saya, yang mengatakan tidak akan memilih yang tak berduit. Partai politik, sebagai organisasi semestinya menciptakan basis konsituen yang jelas dan kritis. Organisasi partai ini akan terintegrasi secara vertikal. Dari situ terbentuk formasi politik penjamin kelangsungan proses ekonomi politik, yang tentunya mengedepankan kepentingan rakyat banyak.

Ada yang tak beres dalam proses kita bernegara. Sebab persoalan nyata yang dialami masyarakat tidak sampai di tingkat atas. Di pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Bahkan mungkin gaungnya saja tidak sampai. Justru yang terjadi sebaliknya, persoalan coblos-mencoblos, yang kadang tidak ada hubungannya dengan persoalan rakyat, ramai dibicarakan di tingkat bawah. Membuat rakyat hampir lupa pada persoalannya sendiri. Tak jarang, juga menimbulkan konflik antar mereka di tingkat bawah.

Kondisi partai politik dan sistim berdemokrasi saat ini barangkali telah menciptakan banyak orang latah untuk nyaleg. Dan nyaleg seperti orang yang berjudi. Ada yang banyak modal, ada yang setengah memaksa, ada yang hanya pasrah. Menunggu keberuntungan, seperti juga tetangga saya. Dia ikut mencalonkan diri menjadi anggota legislatif yang terhormat. Namun tidak melakukan kampanye, juga tak mengeluarkan uang untuk kemenangannya. Ia hanya pasrah.

Demokrasi kita memang seperti ini. Tapi ada satu pertanyaan yang masih perlu dijawab: apakah ini demokrasi?

No comments:

Post a Comment

tinggalkan pesan di sini