"Memakai kaos oblong, sandal jepit tidak boleh masuk kampus"
Kalimat itu terpampang di samping gerbang masuk kampus UIN Sunan Kalijaga sebelah barat. Kalimat itu didasarkan pada kode etik mahasiswa, Bab IV pasal 7 ayat 3. “Berpakaian sopan, bersih, rapi dan menutup aurat pada saat kuliah, ujian, ketika berurusan dengan dosen, karyawan dan lain-lain di kampus.” Begitu bunyi kode etik itu. Kemudian disambung oleh ayat 5, “Memakai sepatu atau sepatu sandal di dalam kampus”.
Pelanggaran dari pasal di atas tertuang dalam Bab V. Pelanggaran, pada pasal 8 ayat 2 dikatakan: “Memakai sandal, sepatu yang tumitnya diinjak, slop, klompen atau sejenis, berkaos oblong dan bercelana sobek selama mengikuti kegiatan akademik dan kegiatan lainnya di kampus” termasuk pelanggaran ringan. Tentu saja banyak ayat dan pasal sejenis yang membahas itu. Untuk lebih jelasnya baca saja bukunya. Saya rasa tiap mahasiswa UIN Sunan Kalijaga punya kalau nggak dibuang.
Namun persoalannya tidak hanya selesai di situ. Pada sekedar bagaimana cara berpakaian yang baik dan tidak baik. Pada sepakat atau tidak adanya peraturan. Apa yang dilakukan oleh kampus adalah sebuah model hegemoni terhadap mahasiswa. Saya selalu percaya pendidikan, dalam bentuk apa pun adalah sebuah rezim. Sebuah upaya untuk menguasai. Bukan hanya bagaimana adanya hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan jika meminjam pemikiran Foucault. Namun pendidikan sebagai produsen pengetahuan juga bersifat menguasai. Termasuk juga relasi sosial yang ada di dalamnya.
Apa yang saya singgung di atas sebenarnya adalah sebuah contoh kecil dari sebuah tertib dunia. Kita sekarang ini hidup dalam keterpenjaraan oleh tatanan ketertiban itu. Lalu kita seolah selalu diawasi oleh polisi-polisi moral. Ini adalah cara yang lebih halus dan terlihat manusiawi bagaimana sebuah tatanan (apakah itu institusi, tatanan moral, atau bahkan agama) untuk menghegemoni manusia. Tentu saja, sebelumnya dilakukan pendefinisian antara yang baik dan tidak baik, yang benar dan tidak benar, yang normal dan tidak normal. Dan siapakah yang berhak untuk menetapkan ini semua?
Penetapan itu jelas dilakukan oleh yang berkuasa. Yang mempunyai otoritas. Menetapkan kategorisasi antara yang baik dan tidak baik, kemudian memaksakan pandangannya tentang kebaikan itu adalah kehendak untuk berkuasa. Ada jalinan antara pengetahuan dan kekuasaan yang kemudian memunculkan bentuk-bentuk hegemoni.
Tentang baik dan buruk itu, lalu menjadi sesuatu yang bertentangan secara dikotomis. Mereka berada pada oposisi biner. Dan berdasarkan hal itulah bahasa, dalam pandangan strukturalisme, beroperasi. Namun, selalu saja dari semua itu selalu saja muncul persoalan di mana term satu berusaha untuk mengungguli yang lain. Dalam kasus yang saya sebutkan di atas, jelas ada klaim kebenaran dari satu pihak yang coba dipaksakan kepada pihak yang lain.
Saya tidak tahu apa yang menjadi latar belakang kampus menerapkan peraturan yang modelnya kayak gitu. Bahkan barangkali bukan hanya kampus saya. Sebab gejala ini nampak sudah menjadi “wabah” umum yang menyerang kehidupan mahasiswa.
Seperti ada sebentuk penjinakan secara halus melalui pendisiplinan dan hukuman yang diciptakannya. Pendisiplinan adalah memang mode penjinakan. Sebuah hukuman yang lebih manusiawi, namun sesungguhnya tidak ada bedanya dengan ketika seseorang masuk penjara. Masih mau taat pada peraturan?
No comments:
Post a Comment
tinggalkan pesan di sini